Diabadikan Menjadi Nama Jalan Dan Rumah Sakit, Inilah Sekelumit Perjuangan AGH Hayyung

Porostengah.com – Selayar. Nama KH Hayyung diabadikan pada sebuah jalan dan rumah sakit di Kota Benteng, Selayar. Penyematan gelar KH (Kyai Haji) tampaknya mengikuti tradisi Jawa sebagai gelar ulama. Sedangkan untuk tradisi masyarakat Bugis dan Makassar sendiri, biasanya menggunakan AGH (Anrong Gurutta Haji). Maka pada berbagai tulisan, nama beliau AGH Hayyung.

AGH Hayyung adalah pejuang tiga zaman (zaman kolonial Belanda, Jepang dan pasca kemerdekaan). Walaupun semasa hidup beliau identik dengan organisasi Muhammadiyah, namun sesuai situasi saat itu, organisasi ini nyatanya tidak sekedar bergerak bidang pendidikan dan sosial tetapi juga memotori perjuangan membebaskan rakyat Indonesia khususnya Selayar dari cengkeraman penjajahan.

Foto AGH Hayyung (tengah) bersama Pejuang Ali Malaka (kiri) dan Dorrahamang (kanan)(sumber : koleksi keluarga AGH Hayyung)

Lahir dengan nama Abdul Hayy di Barugayya, Distrik Bonea (saat ini Kecamatan Bontomanai, Selayar) pada 18 November 1892. Pada umur sebelas tahun, Abdul Hayy belajar ke Kota Suci Mekah. Ilmu yang ditimba di Tanah Suci selama 14 tahun inilah yang membentuk kepribadiannya menjadi seorang ulama sekaligus nasionalis.

Kembali ke Selayar, Haji Hayyung menjumpai kenyataan yang menggerakkannya untuk melakukan pembaharuan dari segala sendi kehidupan masyarakat, khususnya dibidang aqidah.

Seperti ditulis Firmansyah dalam buku “Selayar Dan Pergerakan AGH Hayyung” (2015) bahwa Haji Hayyung melihat masyarakat mengalami penjajahan baik secara fisik maupun aqidah. Secara fisik mereka dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi penjajah dengan upah yang sangat rendah dan bahkan tidak dibayar sama sekali. Dan secara aqidah masyarakat yang umumnya beragama Islam tidak diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memahami dan menyebarkan agama Islam. Bahkan ada usaha dari pihak penjajah untuk merusak aqidah umat Islam, yaitu dengan menyebar ulama dari kalangan masyarakat setempat yang merupakan kaki tangan penjajah”

Dengan wadah Muhammadiyah cabang Selayar yang beliau dirikan pada 1927,  H. Hayyung melancarkan gerakan pembaharuan di Selayar melalui pendidikan.

Menurut KH Muchtar Adam tulisan berjudul “Pimpinan Muhammadiyah Selayar Dari Masa Ke Masa”, melalui organisasi inilah dengan sarana pendidikannya baik formal maupun yang non formal, mulai ditanamkan rasa harga diri sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga secara berangsur mulai timbul paham nasionalisme, yang melahirkan kader-kader pejuang bangsa yang kelak akan tampil sebagai pelopor pejuang di daerah ini.

Tahun 1936 organisasi ini menunjukkan perkembangan yang pesat dengan diadakannya Konferensi Muhammadiyah secabang Selayar di kota Benteng.

Muhammadiyah tidak hanya bergerak di zaman Belanda, tetapi terus berkembang di masa Jepang. “Ketika militer Jepang berkuasa di Selayar, salah satu yang dikhawatirkan adalah pergerakan Muhammadiyah yang dipimpin oleh H Hayyung. Jepang pun membekukan perlawanan ini dengan menyita semua perlengkapan Muhammadiyah cabang Selayar,” tulis Zainuddin Tika dan Ridwan Syam dalam “Profil Raja Dan Pejuang Sulawesi Selatan” (2002)

Pergerakan pun harus dilakukan diam-diam hingga pada 20 April 1944, H.  Hayyung ke Surabaya untuk pertemuan di Gresik dan tiba 8 Mei 1944. Dalam rapat tertutup yang dipimpin oleh Ki Bagus Hadikusumo tersebut, diputuskan untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan kemerdekaan. Saat itu hadir juga Sudirman dari Yogya serta Mas Mansyur dan Soekarno dari Jakarta.

Balik dari Surabaya pada 13 Desember 1944, H. Hayyung membentuk Kesatuan Hisbullah dan Majelis Ta’lim 45 yang dipercayakan kepada Akasa dan Muh Kasim. Elemen-elemen inilah merupakan cikal bakal organisasi kelaskaran AMRIS (Angkatan Muda Rakyat Indonesia Selayar).

Seputar proklamasi, H. Hayyung mengadakan kontak langsung dengan para pejuang di Makassar seperti Ali Malaka dkk. Di samping terus memberikan dakwah Islamiyah, beliau juga juga membicarakan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mendukung Republik Indonesia yang baru saja berdiri seperti mempersenjatai laskar AMRIS dan mempropagandakan pekikan “Merdeka” ke seluruh daratan dan Kepulauan Selayar.

Maka selain menjabat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah pada tahun 1927, H. Hayyung merupakan tokoh penting dalam menegakkan kemerdekaan di antaranya sebagai anggota urusan agama dalam KPK (Komite Penyelenggaraan Kemerdekaan), sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan de fakto di Selayar pendukung Republik Indonesia. Organisasi ini dibentuk pada 28 Agustus 1945, diketuai oleh Aroeppala yang juga mengambil alih kekuasaan kolonial yang dipimpin oleh Rauf Rahman pada 29 November 1945.

Di Kelaskaran AMRIS sendiri, H Hayyung berada di posisi staf 5 Markas pasukan dan menjadi salah satu komandan dalam penyerangan pos Belanda di Benteng pada bulan Februari 1946.

Sebagai seorang nasionalis sekaligus tokoh Muhammadiyah beliau menyampaikan sederet nasehat kepada santrinya bahwa selama kita masih membiarkan bangsa lain menjajah bangsa kita, maka selama itu pula Ibadah kita tidak akan menemui kesempurnaan.

Pesan terakhirnya, “Tidak ada lagi yang saya titipkan kepada kamu sekalian, kecuali Muhammadiyah dan Indonesia merdeka. Milikilah itu seumur hidupmu. Suatu saat, bukan hanya Irian Barat saja yang dapat kita tarik ke dalam wilayah Republik Indonesia, tetapi juga Pulau Timor dan Borneo Utara”, kutip Firmansyah.

Anrong Gurutta Haji Hayyung, tokoh agamis, nasionalis sekaligus pejuang tiga zaman ini wafat pada 14 November 1961 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Barugayya, Selayar.

 

Sumber  : Amran

Editor     : Nur Kamar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *