HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU MENURUT SYARIAT ISLAM

Porostengah.com – Selayar, 01/01/2022. Pergantian tahun baru Masehi yang dirayakan setiap tanggal 31 Desember merupakan bukan ajaran Islam. Akan tetapi transformasi sosial dan budaya menjadikan perayaan tahun baru sebagai fenomena dan tantangan tersendiri bagi umat Islam.

Perayaan tahun baru harus disikapi dengan pemahaman akidah yang kuat dan kesadaran diri tentang ajaran moral.

Sehingga tidak tergelincir mengikuti arus yang berujung amalan tidak berguna, atau bahkan menjadi bagian dari amalan agama lain yang itu jelas dilarang dalam Agama Islam.

Ketua Majelis Dakwah dan Pendidikan Islam (Madani) Ustaz Ainul Yaqin dalam pesannya mengatakan, terlebih dalam perayaan tahun baru identik dengan foya-foya, kegembiraan yang berlebihan. “Bahkan melakukan hal yang tidak bermanfaat, mubadzir bahkan cenderung dekat dengan maksiat, seperti potensi zina dan mabuk-mabukan,” ujarnya.

Ada beberapa tradisi yang kurang elok, dan tidak mendidik sebenarnya saat malam tahun baru seperti meniup terompet, memyalakan petasan, kembang api dengan dalih semangat baru, energi baru untuk tahun baru lebih sukses. “Jelas menurut saya ini salah kaprah,” sebutnya.

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 5/20; Abu Dawud no. 403). Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. (Fathul Bari, 10/271).

Sebenarnya merayakan perayaan malam tahun baru tergantung niatnya, apa tujuan dan kemauan mengikuti perayaan tersebut. Jika ikut- ikutan dan mengikuti arus yang tidak berfaedah lebih baik tidur dan istirahat di rumah, kumpul dengan keluarga, maka dia akan mendapatkan pahala menjauhi maksiat dan menjauhi pekerjaan tiada manfaat.

Sementara, penjelasan Ustaz Ahmad Sarwat MA, Direktur Rumah Fiqih Indonesia (RFI) seperti dikutip inews.id, Dia menjelaskan, ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun baru masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya dengan syarat.

Pendapat yang Mengharamkan

Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.

Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Non-muslim

Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya. Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru.

Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal. Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama non muslim. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.

Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang non-muslim.

Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.

Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena Natal, tahun baru, kenaikan Isa, Paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, Kementerian Agama dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Umumnya akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram.

Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja. Demikian juga dengan ikut perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi kaum non-muslim, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.

Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.

Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya. Demikianlah ringkasan singkat tentang perbedaan pandangan dari beragam kalangan tentang hukum umat Islam merayakan malam tahun baru. Wallahu A”lam. (*)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *