News  

Pemerhati Pembangunan Selayar Tanggapi Polemik PKM Bontoharu

Porostengah.com, Selayar – Aktivis Pemerhati Pembangunan di Kepulauan Selayar, H. Rakhmat Zaenal turut menanggapi polemik yang terjadi di PKM Bontoharu terkait adanya dugaan praktik pungutan liar (pungli) berkedok sumbangan kepada sejumlah pegawai PKM, mulai dari Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Harian Lepas (PHL) hingga Non PHL atau Tenaga Sukarela.

Rakhmat Zaenal mengatakan ada yang menarik dari keterangan Kadis Kesehatan Selayar, dr. H. Husaini yang menanggapi dugaan pungutan atau pemotongan Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di PKM Bontoharu.

“Ada yang menarik dari keterangan Pak Kadis Kesehatan, PKM Bontoharu belum definitif dan masih proses assesment terkait kelembagaannya. Belum definitif berarti operasional kegiatan betul-betul bertumpu pada BOK,” kata Rakhmat Zaenal.

Untuk itu, Rakhmat Zaenal menanyakan dari mana biaya untuk assesmen? Dari mana biaya ATK, biaya cetak papan bicara, tinta printer untuk mencetak format-format, SOP, makan minum saat bekerja bahkan lembur, dan administrasi lainnya?. Tentu, Laptop, printer masih milik sendiri, kata Rakhmat.

Selain itu, mulai ASN, P3K, PHL hingga Non PHL tentu belum definitif di PKM Bontoharu, dalam artian mereka masih berjuang agar status mereka jelas agar bisa bekerja dengan tenang, dan terutama bagaimana agar PKM Bontoharu bisa definitif dan mampu memberikan pelayanan secara maksimal.

“Saya pribadi tidak mengenal seorang pun dari yang namanya muncul di media, tapi mereka dengan berani mau mengawal proses definitif PKM, siap mengawal asistensi ke Pemprov hingga lahirnya keputusan Bupati nanti, dan pada akhirnya lolos akreditasi dan operasional PKM Bontoharu bisa resmi,” ungkapnya.

Karenanya, kata dia, bisa maklum kenapa banyak yang menghindar dari jabatan karena tantangannya bukan saja hanya di manajemen yang harus muncul dengan prestasi, tapi saat menjadi KPA, juga harus mengurusi hal lain dengan berbagai resikonya, termasuk reputasi bahkan bisa menjadi incaran APH.

 

Rakhmat Zaenal menambahkan, Dari awal, kita sering terpaku pada istilah “pungli” (pungutan liar), yang umumnya diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk memaksa seseorang menyerahkan sesuatu, membayar, atau melakukan pekerjaan untuk kepentingan pribadi.

 

Namun, apakah mungkin ini sebenarnya bentuk “sumbangan” atau “kontribusi” dari pelaksana kegiatan atas kepedulian dan tanggung jawab mereka sebagai tim? Misalnya, ada sisa anggaran dari konsumsi, sewa tempat, atau diskon biaya lain. Sisa ini tidak untuk pribadi, tetapi untuk tambahan operasional tenaga sukarela atau menutupi biaya yang tidak tercover dalam RAB kegiatan.

 

Bisa juga sebaliknya, ada kebutuhan bersama yang harus dibiayai. Maka, anggaran dikelola secara efektif dan efisien agar ada selisih untuk menutupi kebutuhan tersebut.

Ini hanya renungan, bukan ajakan untuk membenarkan praktik yang sejak awal disebut “pungli”. Sebab, istilah ini sendiri perlu dikaji lebih jauh apakah sudah tepat atau belum. Tambahnya

“Seperti kata Pak Kadis Kesehatan, sepertinya polemik ini sudah harus ditinggalkan dan mari kita mendoakan agar apa yang sedang diupayakan oleh mereka di garis depan membuahkan hasil dan pelayanan kesehatan bisa semakin didekatkan ke masyarakat,” pungkas Rakhmat Zaenal. (Tim).

error: Content is protected !!
Exit mobile version