Porostengah.com, Morowali Utara- Kehadiran media sosial telah mengalihkan aktifitas ril manusia ke dunia maya. Kebanyakan orang menghabiskan waktunya berselancar di internet khususnya media sosial. Menurut laporan We Are Social terbaru, pada Januari 2024 pengguna internet global rata-rata menghabiskan waktu 143 menit (atau 2 jam 23 menit) per hari untuk mengakses media sosial.
Bagi konten kreator dan stremer game beroperasi di media sosial 8 jam per hari. Bahkan ada yang menghabiskan waktunya seharian berselancar di dunia maya. Hal tersebut menunjukkan transformasi aktifitas manusia di segala bidang bergeser dari konvensional menuju serba digital.
Termasuk pola komunikasi di jejaring media sosial, hal ini tentu memudahkan sebab yang jauh terasa dekat dan dianggap efisien terhadap kerja-kerja dalam aspek tertentu.
Namun dilain sisi pola komunikasi di media sosial mulai merambat pada pola komunikasi yang digiring pada informasi-informasi bohong atau sering diistilahkan hoaks. Olehnya tidak sedikit yang menjadi korban fitnah dan pencemaran nama baik di media sosial.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat, terdapat 12.547 konten hoaks yang beredar di website dan platform digital sepanjang Agustus 2018 sampai Desember 2023.
Penyebaran hoaks juga bisa diartikan pada penyebaran opini yang tidak berdasar di ruang-ruang publik. Kasus seperti ini kerap terjadi pada momentum politik seperti pilpres, pileg maupun pilkada.
Saling serang dan memfitnah antara pendukung paslon satu dengan paslon yang lain kerap ditemukan. Bahkan beberapa kasus juga ditemukan saling melaporkan dan sampai di meja hijau (pengadilan).
Ada sebuah peribahasa, mulut-mu harimaumu. makna kata mulut dalam pribahas ini tentu telah bertransformasi, sebab perilaku menghujat, firnah dan pencemaran nama baik tidak lagi menggunakan mulut melainkan mengunakan jempol untuk mengetik di media sosial.
Kadang tanpa kita sadari komentar atau statemen yang kita buat di media sosial dapat menimbulkan ketersinggungan terhadap orang lain. Dalam prinsip berdemokrasi tentu hak atas kenyaman orang lain harus dijunjung.
Sehingga fenomena saling menghujat, memfitnah serta pencemaran nama baik di media sosial, pada momentum politik tentu tidak dibenarkan, sebab dapat menganggu stabilitas sosial dalam suatu wilayah tertentu bil khusus Morowali Utara.
Seperti kita ketahui Morowali Utara merupakan daerah yang sangat heterogen, baik itu warga yang bermukim sementra maupun yang telah menetap, sangat bervariasi latar belakang suku ras dan agamanya, oleh karena itu potensi perpecahan sangat besar jika tidak menjaga keharmonisan di media sosial jelang pilkada.
Kita tidak boleh abai atau bahkan acu tak acu sebab selain potensi gejolak sosial, negara telah menggariskan untuk mengatur masyarakat maya atau netizen dalam berselancar di media sosial. Hal itu tertuang dalam UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi da Transaksi Eletironik atau sering di kenal dengan UU ITE.
UU ITE merupakan regulasi penting dalam membatasi tindakan setiap orang di media sosial termasuk pola komunikasi yang sehat.
Terdapat beberapa larangan yang mengarah pada larangan ujaran kebencian, fitnah dan pencemaran nama baik di media sosial. Salah satu pasal yang mengatur hal tersebut yakni pasal 28 ayat 1 :
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik (sosial media) yang bukan bertujuan untuk menyesatkan konsumen, dapat dipidana 6 bulan atau denda 1 Miliyar Rupiah.”
Olehnya sebagai masyarakat maya alias netizen harus bisa memfilter informasi yang didapat. Serta menahan diri untuk tidak menyebar fitnah dan saling menyinggung satu sama lain.
Mari sehat bermedia sosial, pilihan boleh beda namun kita jangan terbelah. (Sucipto Al-Muhaimin)