Pelecehan di Kampus: Wajah Busuk Institusi yang Mengejar Reputasi Tanpa Moralitas

Makassar-Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen di salah satu kampus ternama di Makassar adalah potret suram dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Ironisnya, ini bukan kasus yang berdiri sendiri. Kampus yang kerap membanggakan diri dengan gelar “unggul” dan “berprestasi” ternyata menyimpan wajah busuk di balik fasadnya. Mereka gagal menyediakan lingkungan yang aman, bahkan untuk para mahasiswanya sendiri. Tragisnya, korban yang berani bersuara justru sering kali menjadi pihak yang disalahkan, sedangkan pelaku dilindungi oleh sistem yang korup dan penuh nepotisme.

Apa arti reputasi akademik jika di baliknya tersembunyi pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral? Institusi pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat membentuk intelektualitas dan integritas, malah menjadi sarang predator berkedok akademisi. Kampus lebih peduli menjaga citra di mata publik dan meraup pundi-pundi mahasiswa baru daripada membenahi masalah mendasar yang merusak nyawa dan masa depan para korbannya.

Ketika kasus pelecehan mencuat, respons kampus sering kali hanya sebatas formalitas. Mulai dari janji penyelidikan, penyelesaian internal, hingga menutup-nutupi kasus demi menjaga nama baik. Padahal, pelecehan seksual adalah kejahatan serius yang tidak bisa diselesaikan dengan mutasi dosen atau sekadar “peringatan keras.” Perlakuan lunak seperti ini hanya menunjukkan bahwa kampus tak lebih dari mesin birokrasi yang dingin dan tidak manusiawi.

Dalam lingkungan yang penuh ketimpangan kuasa, mahasiswa sering kali terpaksa memilih diam. Dosen, yang seharusnya menjadi pembimbing intelektual, malah menggunakan posisi mereka untuk memanfaatkan mahasiswa yang rentan. Relasi kuasa yang timpang membuat korban sering merasa tidak punya pilihan: melawan berarti risiko akademik, seperti nilai buruk atau ancaman dikeluarkan. Dan ketika korban melaporkan, bukannya mendapat dukungan, mereka malah dihantam stigma dan disalahkan.

Masalah ini tidak muncul dalam ruang hampa. Budaya diam yang dipelihara kampus, masyarakat, bahkan sebagian mahasiswa lainnya, ikut menjadi bagian dari lingkaran kekerasan ini. Lebih buruk lagi, mekanisme pelaporan sering kali dibuat tidak ramah kepada korban. Alih-alih menjadi solusi, prosedur kampus sering kali menjadi penghalang, membuat korban lelah dan memilih menyerah.

Sampai kapan kampus akan terus bersembunyi di balik jargon “prestasi” tanpa benar-benar bertanggung jawab? Langkah yang harus dilakukan jelas:
1. Pecat Pelaku Secara Tidak Hormat: Tidak ada alasan melindungi pelaku. Dosen atau staf yang terlibat dalam pelecehan harus dipecat tanpa kompromi dan diajukan ke proses hukum.
2. Buka Laporan Secara Transparan: Kampus harus berani membuka data penanganan kasus pelecehan, bukan menutupinya dengan dalih “penyelesaian internal.”
3. Jaminan Keamanan untuk Korban: Jika kampus tidak bisa melindungi mahasiswa dari predatornya sendiri, maka institusi itu sudah gagal total. Korban harus mendapatkan perlindungan penuh, termasuk bantuan hukum dan psikologis.
4. Ubah Sistem Relasi Kuasa: Relasi antara dosen dan mahasiswa harus diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Kampus tidak bisa lagi menutup mata atau bersembunyi di balik dinding birokrasi. Jika institusi pendidikan gagal menjadi tempat aman bagi mahasiswa, maka tidak ada lagi kepercayaan yang tersisa untuk mereka. Dunia pendidikan tinggi harus sadar: mereka tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga menentukan wajah moral bangsa ini. Ketika kampus menjadi sarang pelecehan, mereka bukan lagi institusi pendidikan, melainkan mesin pembunuh karakter yang menyisakan trauma bagi generasi muda.

Waktunya kampus berhenti pura-pura suci. Jangan tunggu lebih banyak korban untuk akhirnya bertindak. Jika kampus tetap membisu, maka suara masyarakat yang akan memaksa mereka bertanggung jawab!

(Sugandy Try Putra)

 

Bawaslu Selayar Palopo Pilwalkot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!