POROSTENGAH.COM | SELAYAR – Nelayan dan pengusaha keramba ikan hidup di Kepulauan Selayar dibuat resah dengan dua persoalan sekaligus: beredarnya proposal proyek konservasi laut bernilai lebih dari Rp 80 juta dan mandeknya pengurusan Perjanjian Kerjasama (PKS) pengelolaan keramba di kawasan Taman Nasional Takabonerate.
Proposal yang beredar memuat dua paket kegiatan, masing-masing Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Perairan dengan anggaran Rp 40,8 juta serta Pemulihan Ekosistem Transplantasi Karang sebesar Rp 40 juta. Dokumen tersebut mencantumkan rincian biaya logistik, BBM kapal, honor pelaksana, dan pelaporan.

Di sisi lain, sejumlah pembeli ikan hidup mengaku telah melengkapi berkas PKS sesuai persyaratan Balai Taman Nasional Takabonerate, namun hingga Senin (11/8/2025) belum ada kepastian kapan dokumen itu diterbitkan. Akibatnya, aktivitas pembelian ikan hidup dari nelayan berhenti hampir tiga bulan.
“Kalau didatangi petugas ke keramba tidak enak, apalagi kalau dibawakan senjata dan keramba disegel lagi,” kata salah seorang pemilik keramba.
Ironisnya, nelayan menyebut masih ada pihak yang bebas membeli dan mengangkut ikan hidup langsung di kawasan Takabonerate tanpa tersentuh penindakan. “Kalau mereka sudah ada PKS, tunjukkan saja. Jangan sampai nelayan yang didaftarkan fiktif,” ujar seorang pembeli ikan hidup.
Tokoh masyarakat nelayan meminta Balai Taman Nasional Takabonerate bersikap adil dan tidak tebang pilih. “Kalau mau dihentikan, hentikan semua. Kalau mau dibuka, buka semua,” tegasnya.
Tertutupnya kran informasi dan absennya kejelasan aturan di kawasan konservasi Takabonerate telah memicu keresahan berkepanjangan. Publik mendesak agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan wakil rakyat turun tangan menyelesaikan persoalan PKS, keramba, dan dugaan proyek siluman ini. Tanpa langkah tegas, nasib nelayan pesisir Selayar hanya akan semakin terjepit di antara kebijakan yang tidak transparan dan praktik tebang pilih yang kian mencolok. (Tim)