POROSTENGAH.COM – Di antara lembaran kelam sejarah bangsa, terselip kisah keberanian dua prajurit Korps Komando Operasi (KKO) kini dikenal sebagai Marinir TNI AL yang menjadi saksi bisu pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Mereka adalah Pembantu Letnan Dua (Purn) Sugimin dan Pelda (Purn) Evert Julius Ven Kandouw, dua sosok yang menunaikan tugas tanpa pamrih di tengah suasana mencekam pascatragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Tugas Bersejarah Di Pagi Yang Kelam
Senin, 4 Oktober 1965, pagi di Lubang Buaya diselimuti sunyi dan bau anyir darah. Di dasar sumur tua itulah, tujuh perwira TNI Angkatan Darat — enam jenderal dan satu perwira pertama — ditemukan tak bernyawa, menjadi korban kekejaman G30S/PKI.
Salah satu anggota tim evakuasi, Sugimin, kala itu masih berpangkat Kopral KKO. Bersama rekan-rekannya dari Kompi Intai Para Amfibi (Kipam) yang kini dikenal sebagai Taifib (Intai Amfibi) ia ditugaskan untuk turun langsung ke dasar sumur, mengangkat satu per satu jenazah pahlawan bangsa.
“Waktu itu saya masih Kopral KKO, dan tugas ini adalah panggilan jiwa sebagai prajurit,” kenang Sugimin dengan suara bergetar.
Setiap tarikan tali menjadi pertaruhan nyawa, setiap langkah di dasar sumur menjadi saksi bisu atas keteguhan hati seorang prajurit muda.
Pengakuan Yang Baru Datang Setelah 15 Tahun
Butuh waktu panjang bagi negara untuk mengakui jasa mereka. Baru pada tahun 1980, TNI Angkatan Darat memberikan penghargaan Kartika Eka Paksi kepada Sugimin dan rekan-rekannya — tanda penghormatan atas keberanian yang mereka torehkan dalam operasi bersejarah itu.
Sementara itu, Evert Julius Ven Kandouw, kini berusia 77 tahun, menjalani masa pensiun dengan kehidupan sederhana di Sumberberas, Banyuwangi. Ia kini mengabdi sebagai manajer Koperasi Unit Desa (KUD) Pangan di kampung halamannya.
“Baru kali ini saya berbicara dengan wartawan. Dulu kami tidak diperbolehkan menceritakan semua,” tutur Kandouw lirih, mengingat masa di mana kisah mereka harus terkunci rapat di dada.
Suara Dari Seorang Prajurit Tua
Di Surabaya, Sugimin kini menapaki usia senja bersama istrinya di rumah kecil kawasan Ketintang Baru XII. Rumah di sebelahnya disewakan untuk menambah penghasilan. Meski hidup bersahaja, semangat juangnya tak pernah padam.
“Kejadian itu menyangkut martabat manusia. Waktu itu jutaan orang tewas, di gunung, di desa, di kota. Jangan sampai terulang lagi,” pesannya dengan mata berkaca-kaca kalimat yang menggema sebagai peringatan bagi generasi muda agar tragedi serupa tak kembali mencederai bangsa ini.
Jejak Yang Tak Terhapus Waktu
Kisah Sugimin dan Kandouw adalah kisah dua prajurit yang mungkin tak tercatat tebal di buku sejarah, namun jejaknya terpatri di hati bangsa.
Mereka bukan hanya saksi peristiwa kelam, tapi juga penjaga kehormatan para Pahlawan Revolusi.
Dalam diam dan kesetiaan, mereka menegakkan nilai kemanusiaan, keberanian, dan cinta tanah air warisan abadi bagi Indonesia yang merdeka.