POROSTENGAH.COM | SELAYAR – Sejumlah aktivis pemerhati pembangunan di Kabupaten Kepulauan Selayar mulai angkat bicara terkait ramainya dugaan praktik tebang pilih dalam operasional keramba dan jual beli ikan hidup di kawasan Taman Nasional Takabonerate.
Aktivis menilai ada indikasi pembiaran terhadap sebagian pihak untuk beroperasi, sementara pihak lain tidak diizinkan. Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya praktik “main mata” dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut.
“Mana mungkin ada yang dibiarkan beroperasi dan ada yang tidak, kalau tidak ada main mata. Saran saya kepada masing-masing pimpinan dan punggawa agar melakukan pengecekan laporan transaksi rekening oknum yang terindikasi, dari mana saja aliran dana yang masuk,” tegas Hamzah, Aktivis Pemerhati Pembangunan Selayar.
Legalitas Keramba Dipertanyakan
Hamzah juga menyoroti keberadaan keramba yang hingga kini masih beroperasi di berbagai pulau dalam kawasan Takabonerate. Apakah semua keramba yang dibiarkan terus beroperasi ini telah memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) sebagaimana dipersyaratkan oleh Balai Taman Nasional Takabonerate.
“Agar jelas, apakah perlakuan persyaratan PKS benar-benar diterapkan sama terhadap semua nelayan dan pengusaha ikan hidup,” ujarnya.
Desakan Investigasi Pengusaha dan Aparat
Selain itu, pengusaha pemilik keramba yang masih beroperasi diminta untuk diperiksa legalitasnya. Hamzah menekankan, berkas dan izin usaha mereka harus diverifikasi oleh aparat maupun pemerintah.
“Semua pemilik kapal gae yang beroperasi harus diungkap jika memang ada backing-nya, supaya informasi tidak liar. Bahkan mereka yang sudah ditangkap sebelumnya juga perlu didalami agar terang benderang,” lanjutnya.
Tuntutan Transparansi
Aktivis menegaskan, polemik dugaan tebang pilih penerapan PKS ini hanya bisa tuntas apabila seluruh dokumen PKS dan hasil verifikasi yang dipersyaratkan dapat ditunjukkan secara terbuka.
“Kalau memang aturan ditegakkan, tunjukkan dokumennya. Jangan ada yang diperlakukan berbeda,” pungkas Hamzah.
Sementara itu ditempat terpisah, salah seorang aktivis hukum juga mempertanyakan sudah banyaknya barang hasil sitaan berupa kompresor dan alat tangkap serta perlengkapan nelayan yang diambil dari nelayan di Kawasan Nasional Takabonerate dalam 5 tahun terakhir yang hingga saat ini belum jelas penanganannya dan belum jelas status hukumnya.(R).