Artikel: Psikologi Anak Muda dalam memilih pemimpin di pemilu 2024 (Pilihan Pemimpin ala Gen Z dan Milenial)

Porostengah.com – Pemilu adalah Budaya tiap 5 tahunan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia agar menghasilkan Pemimpin baru yang bisa membawa perubahan,perbaikan maupun keberlanjutan pembangunan di Indonesia, Pemilu ini dilakukan sebagai amanat Konstitusi Negara, yang dimana negara Indonesia adalah Negara Demokrasi yang sistem dalam Pergantian Pemimpinnya dipilih langsung oleh Rakyat, baik itu di Lingkup Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) maupun di Lingkup Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) berbeda dengan Arab Saudi yang Sistem pemerintahannya bersifat Kerajaan, dan Inggris yang sistem Pemerintahannya bersifat Monarki.

Ketika Komisi Pemilihan Umum mengumumkan pemungutan suara jatuh pada tanggal 14 Februari 2024, maka semua peserta pemilu baik itu Presiden & Wakil Presiden serta para Calon Legislatif DPRD Kabupaten Kota, DPRD Provinsi, DPD RI, hingga DPR RI mulai mengkampanyekan dirinya di setiap pelosok daerah pemilihannya, semua membawa visi dan misi yang beranekaragam, iming iming kesejahteraan, keadilan serta pelayanannya yang baik dibawa oleh semua peserta pemilu sebagai bahan agar masyarakat memilihnya, Hal ini membuat semua element Masyarakat dari semua generasi ikut menimbang dalam memberikan hak dukung mendukung serta hak memilihnya akan diberikan kepada siapa.

Jika kita melihat dari data KPU ada 5 Generasi yang turut andil didalam Pemilu 2024 sebagai Pemilihnya itu Generasi PreBoomer, BabyBoomer, GenX, Milenial dan GenZ. Dari ke 5 Generasi ini yang paling memadai atau paling banyak Suaranya adalah dari Gen Z dan Milenial, GenZ dengan suara diangka 46,8Juta Suara dan Milenial diAngka 66,82 Juta. (Data KPU RI dalam Kumparan.com, 2023) Tentu para peserta Pemilu juga membawa visi-misi yang dibutuhkan oleh 2 Generasi ini, mulai dari isu anak muda persoalan digitalisasi, pendidikan dan juga lapangan Kerja.

Bahkan ada Peserta Pemilu yang mendeklarasikan dirinya sebagai Perwakilan dari suara dan keresahan anak muda, dengan membawa metode kampanye yang beraneka ragam caranya, demi mendapatkan suara Gen Z dan Milenial yang sangat Banyak ini,menjadi pertanyaan besar akan kemana suara Gen Z dan Milenial?

Pembahasan

Kedua Generasi ini (Milenial dan Gen Z) yang memadai pemilih terbanyak dengan persenan 56,45%, tentu mempunyai kriteria dan pandangan sendiri dalam memilih pemimpin yang tentu saja berbeda pandangan pilihan dengan para Generasi Gen X dan Baby Boomer yang diidentifikasikan sebagai pemilih dari kalangan Orang Tua, Gen Z dan Milenial yang 70% kesehariannya dihabiskan dengan Digital tentu saja membuat cara pandang mereka yang cukup dinamis karena di zaman digital sekaran gsemua informasi dapat diakses pada Media Platform

Disetiap gadget yang mereka pegang, tak hanya aktif di Media Platform saja, anak muda juga aktif dan tertarik pada isu-isu sosial, Dari isu perubahan iklim hingga kesetaraan Gender, mereka secara konsisten menunjukkan dukungan terhadap berbagai perjuangan sosial.

Gen Z dan Milenial juga mempunyai kebiasaanya yang anti-Mainstream atau berbeda dari yang lain, trend-trend yang berkembang seiring dengan zaman dan konsumsi digital yang mereka pakai akan sangat berdampak pada pola fikir mereka dalam menentukan pemimpin masa depan, seperti halnya jika ada seorang peserta pemilu yang kebetulan mereka juga sebagai Influencer dan Selebgram, membuat vlog Ceramah atau membuat qouts-qouts yang dapat membuat orang menjadi tertarik dengan dirinya , atau juga berkegiatan positif tentu saja mereka akan memilihnya karena paradigma yang terbangun kepada calon peserta pemilu ini adalah orang baik, namun ada juga peserta pemilu yang hanya bermodal Lawakan di depan kamera dan di posting kepada para followers atau Subscribernya maka besar kemungkinan diapun akan dipilih oleh para pemilih dari kalangan Gen Z dan Milenial.

Seperti contoh ada seorang komedian maju di calon DPD RI Dapil Jawa Barat yang suaranya menembus angka jutaan suara hanya dengan bermodal memasang foto yang menggunakan ekspresi berbeda dengan calon lain maka dia bisa menghipnotis para pemilih untuk memilihnya. Ketika diwawancarai oleh awak media kata Si Komedian ini “saya daftar saja sebagai pengalaman, dan tidak pernah kampanye memasang spanduk di pinggir jalan, mengenai fotonya saya hanya iseng saja dan tidak punya niat atau tidak kefikiran kalau foto yang saya pasang tujuannya untuk strategi Politik” Ujarnya Ketika di wawancarai awak media. (Detik.com, 2024).

Para pemilih muda juga sebagian besar dalam memilih pemimpin hanya sekedar melihat Gimick yang dibawa oleh calon itu atau di bawa oleh para tim suksesnya, kemudian trend Gimick ini menjadi viral di Fyp dan Reals Sosial Media mereka, tanpa mendiskriminasikan salah satu pasangan calon presiden kemarin, mayoritas pemuda yang apatis dan pragmatis, dalam memilih pasangan calon presiden 02 hanya karena pasangan calon itu “Gemoy” dan pemilih Capres 01 dengan Gimick “Abah” serta paslon 03 dengan Gimick “Humoris.” Sebenarnya tidak ada salahnya jika kita melihat dari kacamata Demokrasi semua orang punya hak dalam memilih apapun alasannya, namun kalau kita melihat dari kacamata Akal sehat dan kacamata kajian akademik maka Gimick saja tidak cukup bahkan tidak diperlukan untuk memajukan bangsa dalam 5 tahun ke depan.

Alangkah lebih baiknya ketika kita memilih para calon itu alasan utamanya karena gagasan dan visi-misi yang mereka bawa itu sesuai dengaan keperluan bangsa kedepan. walaupun secara realita tren gimick ini paling besar pengaruhnya pada Elektabilitas Suara mereka di kalangan Gen Z dan Milenial.

Kalau kita melihat juga pemilih mayoritas dari kalangan anak muda yang identik dengan Digital, mereka akan memilih orang-orang yang sering mereka lihat di media massa, entah itu di Tv atau di Sosial Media seperti Instagram, Tiktok, X dan media-media lain, karena memang sudah kami katakan sebelumnya bahwa generasi Z dan Generasi Milenial 70% kehidupannya dalam sehari dihabiskan dengan memainkan Gadget mereka. (Oke Zone, 2023)

Melalui Sosial Media, kehidupan manusia dapat berubah tak terkecuali dalam aspek politik yang notabenenya bersifat publik. Pesan-pesan politik akan sangat Mudah Didistribusikan melalui sosial media ke arena-arena politik tanpa kehadiran pelaku politik secara fisik atau tidak mengklarifikasi kepada si pelaku politik itu, semua berita yang beredar di sosial media terkait si pelaku politik baik itu beritanya sesuai dengan realita atau hanya sekedar hoax, semuanya termaktub di sosial media dan sangat mudah sekali di akses oleh para pengguna sosial media itu. (Saifullah Bonto, 2024) tentu Sosial media ini ada dampak baik dan buruknya bagi si pengguna, salah satu dampak baiknya dari sosial media adalah kita dapat komunikasi dan bertukar kabar dengan orang terdekat kita hanya dengan satu kali klik, namun dampak buruk dari Sosial Media ini pun sangat banyak seperti berita hoax dan berita-berita kebencian serta bullying antar sesama peserta pemilu pun biasa terjadi di sosial media dan para pemilih anak muda pasti akan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam memilih calon pemimpin ke depan, bahkan tidak sedikit anak muda ketika mereka melihat para calon peserta pemilu ini saling menjatuhkan dan saling menyerang maka timbul pemikiran apatis mereka pada politik, bahwa politik itu tidak menarik karena mereka melihat politik itu sebagai ajang ribut ributan antar sesama paslon disetiap 5 tahunan pemilu, dan bahkan ada yang sampai Golput. Selain itu ada juga Generasi Z dan Milenial dari kalangan Aktivis Kemahasiswaan yang dimana tentu para aktivis ini dengan kemewahan idealismenya ketika memilih pemimpin, yang mereka lihat adalah si pemimpin harus membawa gagasan yang begitu kompleks demi kemajuan bangsa kedepan, khususnya gagasan yang sesuai dengan kondisi zaman dan keperluan anak muda dalam 5 tahun kedepan, walaupun aktivis pemuda selalu di diidentikkan dengan DNA Idealismenya, namun ada pula para Pemuda Aktivis yang rela menggadaikan idealismenya hanya karena kepentingan perut dan jabatan tertentu, seperti menjadi timses di Peserta pemilu karena dibayar dengan pundi-pundi rupiah walaupun secara realita calon yang didukung ini minim gagasan, maka tidak heran Tan Malaka dulu pernah katakan “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seorang Pemuda”.

Kesimpulan Para pemuda (GenZ dan Milenial)beranekaragam dalam memilih Pemimpin, ada anak muda yang Pragmartis dalam memilih Pemimpin, seperti memilih karena Gimick saja dan memilih karena ketenarannya di Media Sosial dan Media-media Digital lain, walaupun alasan mereka memilih bukan karena alasan yang Akademik dan atas dasar kajian yang mendalam, namun itulah hak Demokrasinya sebagai warga negara Indonesia.

Juga mereka tidak bisa disalahkan karena memang Psikologi mereka yang hidup di zaman yang serba digital disertai dengan trend-trend di media massa yang mereka konsumsi tiap hari, maka sangat penting jika para pemuda yang pragmatis seperti ini mendapatkan pendidikan Politik yang cukup masif agar ketika mereka memilih pemimpin didasari dengan alasan yang komprehensif dan alasan ilmiah, lebih dahulu bedah visi-misi calon pemimpin ini apakah sudah relevan tidak dengan kebutuhan bangsa 5 tahun ke depan.

Ada juga anak muda yang apatis dalam memilih pemimpin mereka acu tak acu dengan Politik dan Pemilu, karena yang mereka anggap Politik adalah hal yang membosankan, bahkan anak muda yang Apatis seperti ini ketika memilih pemimpin hanya ikut ikutan saja datang ke TPS hanya sekedar coblos dengan kecerobohannya tanpa mengkaji visi-misi calon pemimpin yang akan dia pilih.

Dan ada anak muda yang memilih calon pemimpin karena haus dengan pundi-pundi Rupiah serta jabatan yang dijanjikan oleh si calon tersebut ketika dia sudah terpilih kelak, walaupun secara realita calon pemimpin yang dia pilih ini minim gagasan dan visi-misinya tidak jelas dan tidak relevan dengan zaman, maka dia akan pilih saja bahkan menjadi timsukses atau tim kampanye dari si calon ini.

Kemudian anak muda aktivis yang idealis, mereka memilih atas dasar kajian mendalam terhadap calon pemimpin yang akan dia pilih, serta mengkaji visi-misi dan gagasan apa yang dibawa oleh para calon pemimpin ini, tidak ikut-ikutan memilih karena Gimick, tidak Pragmatis ketika memilih, tidak apatis dengan dunia Politik dan juga mereka memilih bukan karena hasil sogokan atau serangan fajar, memilih karena dorongan akal sehat dan hati mereka, dan anak muda seperti ini yang menurut kami sangat sulit didapat pada zaman sekarang ini.

Penulis: Muhammad Iswan Fadila Kotta

error: Content is protected !!
Exit mobile version