Berlomba Masuk FYP, Melupakan Surga: Potret Krisis Pelajar Masa Kini

Makassar – Ditengah derasnya arus digitalisasi, pelajar hari ini menghadapi tantangan yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Media sosial, terutama TikTok, telah menjadi medan kompetisi baru. Tren “masuk FYP” kini tidak hanya menjadi tolok ukur eksistensi, tetapi juga simbol popularitas. Sayangnya, di balik gemerlap dunia maya, banyak yang mulai kehilangan arah: mereka berlomba viral, tetapi lupa bahwa hidup adalah perjalanan menuju akhirat.

Menurut laporan We Are Social (2023), rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan 3 jam 18 menit per hari di media sosial. Angka ini lebih tinggi pada remaja yang tumbuh bersama smartphone di tangan mereka. Ironisnya, waktu yang dihabiskan ini sering kali bukan untuk hal produktif, melainkan mengejar popularitas di dunia maya. Banyak pelajar terobsesi membuat konten demi masuk FYP, mengorbankan waktu belajar, ibadah, dan interaksi sosial nyata. Sebuah survei dari Cambridge International (2021) menemukan bahwa 41% pelajar merasa lebih cemas setelah menggunakan media sosial, terutama karena tekanan untuk terlihat sempurna dan mendapatkan validasi berupa likes, views, atau komentar. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka lebih sibuk memuaskan algoritma daripada memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta?

Islam mengajarkan bahwa hidup di dunia ini adalah persinggahan sementara. Allah SWT berfirman dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Namun, berapa banyak dari kita yang masih mengingat hal ini saat sibuk membuat konten viral?

Fenomena ini juga memunculkan kompromi moral yang mengkhawatirkan. Tidak sedikit pelajar yang rela membuat konten bertentangan dengan nilai agama dan budaya demi engagement. Mulai dari pakaian yang tidak sopan hingga perilaku yang merendahkan martabat diri. Pertanyaannya adalah: apakah popularitas sebanding dengan harga diri dan akhlak?

Kita menghadapi generasi yang kehilangan arah dalam menentukan identitas. Mereka menggantungkan harga diri pada angka-angka di layar, bukan pada nilai-nilai luhur yang sebenarnya. Psikolog Jean Twenge dalam penelitiannya tentang “generasi layar” menyebutkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berdampak pada meningkatnya angka depresi dan rendahnya rasa puas terhadap hidup.

Hal ini tidak hanya mengikis produktivitas tetapi juga membahayakan masa depan spiritual generasi muda. Mereka lupa bahwa dunia maya hanya fana, sementara akhirat adalah tempat yang kekal.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan pendekatan yang kritis dan solutif. Berikut beberapa langkah yang perlu diambil:

1. Redefinisi Popularitas

Pelajar perlu memahami bahwa popularitas di dunia maya tidak menentukan kualitas hidup. Keutamaan sejati terletak pada amal kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad).

2. Bijak Mengelola Waktu

Sebuah studi dari American Academy of Pediatrics (2020) merekomendasikan bahwa remaja tidak menghabiskan lebih dari dua jam sehari di media sosial. Waktu yang tersisa dapat dialihkan untuk belajar, olahraga, atau aktivitas ibadah.

3. Gunakan Media Sosial sebagai Ladang Dakwah

Media sosial bisa menjadi sarana menyebarkan kebaikan. Banyak kreator konten yang berhasil menginspirasi generasi muda dengan dakwah kreatif dan edukasi positif.

4. Membangun Ketahanan Mental

Orang tua, guru, dan masyarakat harus bersama-sama mendidik generasi muda agar memiliki ketahanan mental. Hal ini termasuk mengajarkan bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh dunia maya, melainkan oleh akhlak dan kontribusi nyata kepada masyarakat.

Fenomena berlomba masuk FYP adalah cerminan pergeseran nilai generasi muda. Mereka lupa bahwa hidup bukan sekadar tentang berapa banyak views yang didapat, tetapi tentang bagaimana memanfaatkan waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Saatnya kita, sebagai generasi yang peduli, mengingatkan diri sendiri dan orang lain. Jangan sampai dalam upaya meraih popularitas sesaat,

kita kehilangan tujuan hidup yang hakiki: menjadi hamba Allah yang bertakwa dan membawa kebaikan bagi sesama. Dunia maya adalah ilusi, tetapi surga adalah realitas yang abadi.

Pertanyaannya adalah, apa yang benar-benar ingin kita kejar? FYP atau surga?

Bawaslu Selayar Palopo Pilwalkot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!