Sebagian orang mungkin masih menganggapnya hanya sebagai permainan istilah. Dari bunga ke bagi hasil, dari kredit ke pembiayaan. Perubahan itu tampak seperti sekadar usaha memoles sistem agar terdengar Islami. Tapi kalau kita berhenti sejenak dan menengok lebih dalam, kita akan sadar bahwa akuntansi syariah bukan sekadar ganti nama.
Ia adalah cara pandang baru—tentang bagaimana kita memperlakukan harta, memahami tanggung jawab, dan menentukan arah keuangan.
Dalam dunia bisnis modern, untung sering dianggap ukuran utama kesuksesan. Semakin besar laba, semakin tinggi statusnya. Tidak peduli bagaimana caranya, yang penting hasilnya. Namun, dalam akuntansi syariah ada sesuatu yang jauh lebih mendasar. Dalam prinsip ini, harta bukan hanya sebagai alat memperkaya diri, tapi amanah.
Amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya oleh lembaga audit, tapi juga oleh Allah.
Mengelola keuangan dalam kerangka ibadah artinya menyadari bahwa angka-angka bukan sekadar data. Setiap rupiah yang tercatat punya nilai moral. Ada kejujuran yang harus ditegakkan. Ada hak orang lain yang tidak boleh diabaikan. Dalam akuntansi syariah, laporan keuangan bukan hanya soal benar atau salah di mata hukum, tapi juga soal lurus atau bengkok di mata nurani. Yang sering diabaikan, akuntansi syariah sebetulnya mengajak kita bertanya ulang: untuk apa kita mencari untung? Apakah hanya demi menumpuk kekayaan, atau ada hal yang lebih esensial? Kalau kata anak muda zaman sekarang, “apa, sih, yang dikejar? Dunia ji” Prinsip syariah menjawab dengan jelas: yang dikejar adalah keberkahan.
Keuntungan yang tidak hanya mencukupi, tapi juga memberi manfaat bagi banyak orang.
Sayangnya, dalam praktik, banyak yang hanya mengganti kulit luarnya saja. Istilah diganti, label dipasang, sertifikat diperoleh, tapi pola pikirnya masih sama. Beranggapan bahwa akuntansi syariah hanya sebagai pembaharuan administratif semata, sistem konvensional yang diberi label Islami, jelas tidak menyentuh pokok permasalahanya, perubahan mindset.
Tetap mengejar untung sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan etika dan nilai spiritual. Padahal, yang membedakan akuntansi syariah bukan hanya prosedur, tapi niat dan kesadaran. Prinsip syariah bukan sekadar formalitas, tapi janji moral: kepada diri sendiri, kepada masyarakat, dan kepada Allah. Inilah yang membuat akuntansi syariah bukan Cuma beda istilah, melainkan beda arah, beda napas, beda niat.
Penerapan akuntansi syariah yang sejati akan membentuk ekosistem bisnis yang lebih sehat. Ia tidak semata fokus pada laba, tapi juga pada keadilan sosial, kepedulian lingkungan, dan kesejahteraan bersama. Perusahaan yang benar-benar menjalankan prinsip ini tidak hanya bertanya “berapa besar untungnya?”, tapi juga “siapa saja yang ikut merasakan manfaatnya?”. Inilah yang menjadi inti dari perbedaan akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional.
Akuntansi syariah mengajak kita untuk tidak hanya melihat angka-angka di laporan keuangan, tetapi juga untuk mempertanyakan apakah cara kita menghasilkan keuntungan itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan keagamaan yang kita anut.
Setiap pencatatan keuangan adalah bentuk tanggung jawab. Tidak ada ruang untuk manipulasi atau tipu-tipu. Karena akuntansi syariah sejatinya bukan hanya tentang angka, tapi tentang amanah. Dan amanah itu adalah bentuk tanggung jawab moral kepada Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan.
Harta itu sebenarnya hanya alat. Ia bisa jadi berkah, bisa juga jadi beban, tergantung siapa yang memegang dan bagaimana ia mengelolanya. Tapi ketika kita kelola dengan niat yang benar, harta bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Justru jadi jembatan untuk mendekatkan diri pada Allah, jadi sarana untuk berbagi, memberi manfaat, dan menjadi sebab datangnya keberkahan. Akuntansi syariah itu seperti pengingat yang halus, bahwa dalam setiap transaksi ada tanggung jawab moral.
Dalam setiap laporan, ada kejujuran yang harus dijaga. Ia membimbing kita untuk transparan, adil, dan nggak neko-neko. Nggak ada angka fiktif, nggak ada manipulasi, nggak ada ketakutan disusul audit kalau sewaktu-waktu kecurangan terbongkar.
Dan mungkin, sudah saatnya kita berhenti melihat akuntansi syariah sebagai alternatif teknis dari sistem konvensional. Lebih dari itu, ia adalah jalan hidup. Sebuah cara untuk menata keuangan bukan cuma demi profit, tapi demi keberkahan dan ketenangan hati.
Banyak orang berpikir akuntansi syariah itu ribet, penuh aturan ini itu. Padahal justru sebaliknya.
Ia memudahkan. Ia menuntun kita untuk tetap waras dalam mengejar dunia. Mengingatkan bahwa setiap rupiah yang masuk atau keluar, punya pertanggungjawaban. Bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Karena laporan keuangan yang paling penting bukan yang kita serahkan ke kantor pajak, tapi yang akan kita bawa saat berhadapan langsung dengan-Nya.
Pada akhirnya, akuntansi syariah bukan soal bikin hidup yang sudah berat jadi tambah berat. Tapi soal meringankan beban batin, membersihkan hati, dan membuat hidup lebih damai. Saat kita kelola harta dengan niat baik, hidup jadi terasa lebih ringan.
Tidak ada rasa waswas, Tidak ada beban tersembunyi. Mungkin inilah saatnya kita berhenti melihat akuntansi syariah sebagai sekadar alternatif teknis tapi sebagai jalan pulang—menuju hidup yang lebih jujur, lebih berkah, dan lebih berarti. Sebab pada akhirnya, laporan keuangan yang paling penting bukan yang diserahkan ke otoritas pajak, melainkan yang akan kita bawa kelak di hadapan-Nya. Maka ini waktunya kita melihat akuntansi syariah bukan sebagai sistem, tapi sebagai jalan pulang—menuju hidup yang lebih jujur, lebih berkah, dan lebih berarti.
Penulis: Mardhatillah Arifin
Institusi: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Email: [email protected]