Daerah  

Delis dan Djira : Isyarat Mandat Perjanjian Pemerkaran Morowali Utara

 

Morowali Utara, sebuah daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Morowali, resmi terbentuk pada tahun 2013. Pembentukan ini tidak hanya sekadar keputusan administratif, tetapi juga merupakan hasil dari sebuah perjanjian sejarah yang kini menjadi dasar dalam proses pembangunan dan pemerintahan daerah tersebut.

Perjanjian yang tercatat di atas kertas tersebut, hingga saat ini, menjadi acuan dalam penentuan kepemimpinan dan kebijakan politik di Morowali Utara.

Abudin Halilu, salah satu tokoh penting dalam proses pemekaran Morowali Utara, baru-baru ini mengungkapkan detil perjanjian yang disepakati pada waktu itu.

Menurut Abudin, perjanjian tersebut muncul setelah melalui serangkaian negosiasi yang melibatkan masyarakat dari beberapa wilayah, terutama dari wilayah Bungku Utara, Mamosalato, dan Mori.

Ia mengungkapkan bahwa agar Morowali Utara dapat terbentuk, diperlukan penyatuan dari dua wilayah besar yang saling terkait, yakni Mori dan Bungku Utara, serta Mamosalato.

Lebih lanjut Ia menjelaskan, tim pemekaran yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintahan pada waktu itu bekerja keras untuk memastikan seluruh wilayah yang terlibat dalam pemekaran bisa bersatu.

Melalui negosiasi yang intens, akhirnya tercapailah kesepakatan yang kini menjadi fondasi pemerintahan di Morowali Utara.

Abidin menambahkan, perjanjian tersebut memuat klausul yang mengatur hak yang sama bagi masyarakat di wilayah-wilayah yang bergabung, khususnya Bungku Utara dan Mamosalato, dalam hal pemerintahan dan kebijakan politik.

Salah satu butir penting dari perjanjian itu adalah bahwa kepemimpinan di Morowali Utara harus mencerminkan keseimbangan antara kedua wilayah tersebut.

Hal ini berarti, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), figur pemimpin yang terpilih harus berasal dari dua wilayah besar tersebut, sebagai bentuk komitmen terhadap kesetaraan dan keterlibatan aktif seluruh masyarakat dalam pemerintahan daerah.

“Perjanjian ini bertujuan untuk memastikan agar tidak ada pihak yang merasa terpinggirkan dalam proses pemerintahan. Semua wilayah yang terlibat dalam pemekaran harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam menentukan arah pembangunan Morowali Utara,” jelas Abudin

Prinsip kesetaraan ini, menurut Abudin tidak hanya terwujud dalam bentuk pembagian wilayah atau alokasi anggaran, tetapi juga dalam hal keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik.

Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan memastikan bahwa calon pemimpin yang diusung dalam pilkada berasal dari kedua wilayah besar yang terlibat, sehingga kepemimpinan tersebut dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi semua pihak.

Melihat dinamika politik menjelang Pilkada Morowali Utara 2024, klausul dalam perjanjian tersebut kembali menjadi perhatian publik.

Dua pasangan calon yang kini mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati, Delis dan Djira, dinilai sebagai pasangan yang dapat mewakili kedua wilayah besar tersebut, yaitu daratan Mori serta daratan Bungku Utara dan Mamosalato.

Delis, yang berasal dari wilayah daratan Mori dan Djira berasal dari daratan Bungku Utara, dan Mamosalato, diharapkan mampu mengimplementasikan prinsip kesetaraan yang telah tertuang dalam perjanjian pemekaran tersebut.

Bagi banyak pihak, pasangan Delis-Djira menjadi simbol dari komitmen untuk menjaga keseimbangan antara dua wilayah besar yang menjadi bagian integral dari Morowali Utara.

Bawaslu Selayar Palopo Pilwalkot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!