POROSTENGAH – Indonesia sedang bergolak. Sejak akhir Agustus, lebih dari 107 titik aksi di 32 provinsi meletus, dipicu kemarahan publik terhadap tunjangan rumah mewah anggota DPR. Amarah rakyat meluas, sementara Makassar dan Jakarta menjadi episentrum kerusuhan paling berdarah.
Makassar: Api dan Korban Jiwa
Di Makassar, kemarahan massa meledak di depan gedung DPRD Sulsel. Gedung terbakar, tiga orang tewas terjebak di dalam kobaran api, puluhan luka-luka. Tragedi ini mengirimkan pesan keras: rakyat sudah di ambang batas kesabaran.
Jakarta: Infrastruktur Lumpuh, Nyawa Melayang
Ibu kota tak luput. Sedikitnya 22 halte Transjakarta hancur, MRT dan LRT rusak, gerbang tol terbakar. Kerugian ditaksir miliaran rupiah. Namun yang lebih menyayat, seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas tertabrak kendaraan taktis aparat ketika berusaha menghindari bentrokan. “Nyawa rakyat melayang karena negara gagal melindungi,” seru seorang demonstran di Jakarta.
Bandung & Surabaya: Jalanan Dikuasai Massa
Di Bandung, aksi massa membuat jalan protokol lumpuh total. Gedung DPRD Jawa Barat dirusak, aparat menembakkan gas air mata. Sementara di Surabaya, ribuan mahasiswa menduduki depan DPRD Jawa Timur. “Cabut tunjangan DPR, sahkan RUU Perampasan Aset sekarang!” teriak orator mahasiswa di tengah bentrokan dengan aparat yang berujung puluhan luka dan penangkapan.
Suara Rakyat: Keadilan yang Hilang
BEM Universitas Negeri Jakarta lantang menegaskan, “Tunjangan DPR adalah penghinaan terhadap bangsa. Uang rakyat harus kembali ke rakyat!”
PMII DIY menambahkan, “Ketika rakyat lapar, DPR justru hidup mewah. Ini pengkhianatan terhadap amanat reformasi.”
Seorang buruh di Makassar bersuara getir, “Kami bekerja siang malam, gaji pas-pasan. Mereka duduk di kursi empuk dengan miliaran tunjangan. Itu ketidakadilan yang tidak bisa ditolerir.”
Pelanggaran HAM Jadi Sorotan Dunia
Gelombang aksi ini telah menelan sedikitnya enam korban jiwa dan lebih dari 1.200 orang ditangkap. Aparat dituding melakukan tindakan represif, mulai dari tembakan gas air mata membabi buta hingga penggunaan kendaraan taktis yang memakan korban.
Situasi ini langsung mendapat sorotan internasional. PBB dan Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia menghentikan kekerasan, mengusut kematian warga sipil, dan menjamin hak rakyat untuk menyampaikan pendapat. Komnas HAM pun memperingatkan potensi pelanggaran hak asasi yang serius jika aparat terus mengedepankan pendekatan represif.
Krisis Kepercayaan
Presiden Prabowo Subianto memangkas tunjangan DPR dan memerintahkan penyelidikan atas kasus Affan Kurniawan. Namun langkah itu dinilai terlambat. Gelombang protes yang terus meluas menjadi tanda nyata krisis kepercayaan rakyat terhadap elite politik dan institusi negara.
Gelombang ini bukan sekadar demonstrasi, melainkan perlawanan rakyat yang merasa dikhianati. Dunia menyorot, rakyat bersuara, dan pemerintah kini berada di persimpangan: meredam dengan dialog atau memperdalam luka bangsa dengan kekerasan.