SELAYAR, POROSTENGAH.COM – Persoalan pembelian ikan hidup di kawasan konservasi Taman Nasional Takabonerate kembali mencuat setelah sejumlah keramba milik nelayan pembeli disegel dan alat tangkap mereka disita. Kebijakan yang seharusnya mendukung konservasi laut justru menyisakan tanda tanya besar terutama terkait penerapan aturan yang dinilai tidak merata.
Sejumlah nelayan pembeli ikan hidup mengaku telah mengikuti prosedur sebagaimana diarahkan oleh Balai Taman Nasional Takabonerate, termasuk mengurus izin dan dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS). Namun realitas di lapangan justru tidak berpihak kepada mereka. Alih-alih mendapat kejelasan, keramba mereka disegel, jaring disita, dan aktivitas usaha dihentikan tanpa penjelasan hukum yang transparan.
Sementara itu beberapa pembeli ikan hidup lainnya yang juga belum diketahui kejelasan status PKS-nya terus dibiarkan beroperasi secara bebas. Ketimpangan ini menimbulkan keresahan dan dugaan adanya praktik pilih kasih dalam penerapan aturan konservasi.
“Kami sudah bangun keramba, urus izin usaha, dan lengkapi semua administrasi. Tapi kenapa kami yang dihentikan sementara yang lain masih bebas beroperasi?” ungkap salah satu nelayan pembeli dari Pulau Jinato.
Ketidakjelasan mekanisme penerbitan PKS juga menjadi sumber frustrasi. Beberapa pembeli ikan mengaku sudah menunggu hingga tiga bulan tanpa kejelasan dengan alasan dokumen mereka masih menunggu keputusan pusat.
Di sisi lain, keramba yang digunakan untuk ketahanan pangan masyarakat di pulau pun juga ikut menjadi sorotan. Para warga mempertanyakan jika keramba pembeli dilarang karena tidak ada PKS, apakah keramba pangan juga akan dikenakan sanksi yang sama? Jika tidak maka muncul pertanyaan mengenai konsistensi dan keadilan dalam penerapan regulasi.
“Kalau keramba ketahanan pangan tidak dilarang lalu apa bedanya dengan keramba kami terhadap lingkungan? Apakah yang satu merusak dan yang lain tidak? Ini yang tidak masuk akal,” kata seorang pembeli ikan hidup.
Langkah konservasi memang penting untuk menjaga ekosistem namun pelaksanaannya harus disertai pendekatan sosial yang adil. Ketika nelayan kecil yang berusaha patuh justru dirugikan, kepercayaan terhadap kebijakan konservasi pun menjadi luntur.
“Kami siap penuhi semua permintaan administrasi dan proposal. Tapi keluarkan dulu PKS-nya supaya kami bisa jalan bersama-sama. Jangan ada yang dilarang dan ada yang dibiarkan,” tambahnya.
Tak hanya itu, ketimpangan juga terlihat dari masuknya kapal-kapal pukat dari luar kawasan Takabonerate. Mereka beroperasi dengan bebas menggunakan alat tangkap skala besar sementara nelayan lokal justru dikekang.
“Nelayan luar masuk dengan pukat besar, sementara kami diminta ikut patroli. Ironis,” ujar seorang tokoh pemuda pesisir.
Kasi Humas Polres Kepulauan Selayar menjelaskan bahwa penyegelan keramba bukan merupakan inisiatif kepolisian melainkan bagian dari Operasi Gabungan yang dipimpin oleh pihak Jagawana.
“Setelah kami cek itu dipasang dalam Operasi Gabungan yang diinisiasi oleh Jagawana. Tidak ditemukan unsur pidana sehingga police line kami buka. Untuk urusan PKS itu wewenang Balai, silakan bermohon ke sana,” jelasnya.
Situasi ini menegaskan perlunya transparansi regulasi dan evaluasi total terhadap sistem pengelolaan konservasi. Keadilan ekologis harus berjalan beriringan dengan keadilan sosial. Nelayan kecil bukan musuh konservasi mereka justru bisa menjadi mitra terbaik jika dilibatkan secara aktif, terbuka, dan adil.
Kisah para nelayan kecil di Takabonerate bukan sekadar tentang ikan atau keramba, tapi tentang bagaimana negara hadir di tengah masyarakatnya. Konservasi sejati adalah upaya menyelamatkan lingkungan tanpa mengorbankan kehidupan mereka yang menggantungkan hidup dari laut.