SELAYAR, POROSTENGAH.COM – Beberapa bulan terakhir persoalan pelarangan pembeli ikan hidup dan aturan otoritas pengelola kawasan konservasi di Taman Nasional Takabonerate Selayar belum membuahkan solusi bagi para pembeli ikan hidup.
Adanya penyegelan keramba dan penyitaan jaring serta pelarangan pembelian ikan hidup tanpa perjanjian kerjasama (Pks) dengan pengelola kawasan oleh para nelayan di pulau-pulau kecil wilayah ini juga menyisakan tanda tanya besar yang belum juga dijawab secara terbuka. Apa sebenarnya yang terjadi, sementara ada sejumlah pengusaha pembeli ikan hidup dibebaskan terus beroperasi.
Awal Mula Permasalahan
Dalam upaya mendukung prinsip konservasi laut dan pengelolaan perikanan berkelanjutan, Balai Taman Nasional Takabonerate mengeluarkan anjuran wajib bekerjasama dengan pengelola kawasan dengan bukti PKS dengan pembeli ikan hidup yang punya keramba penampungan ikan. Anjuran ini direspons positif oleh sebagian besar nelayan pembeli. Mereka kemudian berusaha melengkapi seluruh adminstrasi usaha dan keramba sesuai arahan petugas Balai Taman Nasional Takabonerate.
Namun realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Setelah mengikuti arahan tersebut, sebagian nelayan malah menghadapi penyegelan alat usaha dan penyitaan jaring. Hingga kini, belum ada penjelasan resmi yang rinci mengenai dasar hukum atau pelanggaran spesifik yang dilakukan nelayan pembeli ikan dan pemilik keramba.
Sementara ada pembeli yang terlihat terus membeli tanpa ada upaya kelengkapan legalitas yang dimaksudkan oleh pengelola kawasan. Apakah mereka sudah sesuai peraturan yang ditetapkan atau belum.
Ketimpangan Jelas Terlihat
Yang membuat situasi semakin rumit, terdapat dua pengusaha besar yang masih bebas beroperasi di kawasan yang sama, meski legalitas usaha mereka juga disebut belum sepenuhnya jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan di kalangan nelayan dan pembeli pemilik keramba lain. Apakah ada praktik tebang pilih dalam penerapan aturan?
“Kami sudah bangun keramba urus izin usaha dan urus administrasi kerjasama ke kantor balai Taman Takabonerate. Intinya ikut aturan. Tapi kenapa justru kami yang dihentikan? Sedangkan yang lain tetap jalan terus?” ujar salah seorang nelayan pembeli ikan hidup dari Pulau Jinato.
Regulasi Tanpa Pendekatan Sosial?
Penerapan regulasi konservasi kerap kali dipandang sebagai upaya melindungi ekosistem laut dari eksploitasi berlebihan.
Namun, dalam kasus Takabonerate, regulasi itu tampaknya belum dibarengi dengan pendekatan sosial yang adil dan dialogis. Para nelayan dan pembeli lokal merasa kebijakan dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi nyata mereka di lapangan.
Selain kerugian materi akibat penyitaan dan penghentian aktivitas, dampaknya juga terasa pada rantai pasok ekonomi lokal.
Nelayan tangkap kesulitan menjual hasil pancingnya karena pembeli yang mereka ikuti selama ini tak bisa menampung.
Sementara untuk menjual ke pembeli yang tetap dibiarkan beroperasi harganya murah dan tidak menutupi biaya operasional melaut para nelayan pemancing ikan hidup.
” Sudah hampir tiga bulan perjanjian kerja sama untuk membeli ikan hidup yang kami urus di Balai Taman Nasional Takabonerate Selayar belum selesai dengan alasan mau dikirim ke pusat dan menunggu keputusan pusat, hanya itu alasan yang kami terima, “ujar salah seorang pembeli ikan hidup.
Anggota saya sekarang sudah mulai tidak melaut memancing ikan hidup tapi mencari alternatif ikan pasar. Padahal harga ekonomis ikan hidup dan ikan mati kebutuhan pasar sangat jauh berbeda hasilnya bagi nelayan.
Bukan saja keramba nelayan pembeli ikan hidup tapi keramba ketahanan pangan disalah satu desa pulau juga menjadi perhatian. Apakah akan dilarang karena tidak ada perjanjian kerjasama atau tidak.
Kalau tidak dilarang lalu apa bedanya terhadap lingkungan di kawasan Takabonerate ? Inikan tidak masuk diakal ungkapnya.
Sebenarnya kami juga siap memenuhi permintaan proposal tapi keluarkan dulu surat PKSnya supaya kita sama-sama jalan. Jangan ada yang dibiarkan ada dilarang, pungkasnya.
Harapan akan Keadilan Konservasi
Kasus keramba di Takabonerate seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak.
Konservasi sejati tidak hanya berbicara soal pelestarian lingkungan, tapi juga harus memperhitungkan keadilan sosial bagi masyarakat lokal.
Nelayan dan pembeli ikan hidup modal kecil bukan musuh konservasi mereka justru bagian dari solusi jika dilibatkan secara aktif dan adil.
Masalah Lainnya Nelayan Jaring Lokal vs Nelayan Jaring Luar
Lebih ironis lagi, di saat nelayan lokal dibatasi ruang geraknya, kapal-kapal pukat pursen (gae) dari luar kawasan Takabonerate bisa dengan mudah masuk dan menangkap ikan dalam skala besar.
Menggunakan teknologi dan mesin penangkapan mereka mengambil keuntungan dari wilayah tangkapan yang dulunya menjadi sumber hidup masyarakat lokal.
“Nelayan dari luar dibiarkan masuk mallampu ditaka baru kami malah dimintai untuk ikut berpatroli sama petugas pos jagawana” ujar seorang tokoh pemuda pesisir.
Sudah waktunya pendekatan yang lebih humanis diterapkan: transparansi regulasi, pendampingan teknis, penyederhanaan izin, hingga evaluasi menyeluruh terhadap praktik-praktik yang menimbulkan kesan monopoli dan dugaan kongkalikong.
Melawan lupa berarti mengingat: bahwa di tengah laut biru Takabonerate, ada nelayan-nelayan kecil yang terus berjuang, bukan hanya melawan ombak, tetapi juga kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak.