Porostengah.com – Pernahkah Anda membeli sesuatu lewat perantara, lalu diam-diam bertanya dalam hati: “Apakah saya mendapatkan harga terbaik, atau justru dimanfaatkan ketidaktahuan saya?” Kira-kira, itulah cermin sederhana akad murabahah di dunia keuangan syariah.
Konsep awal murabahah sebenarnya indah, bank membeli barang yang dibutuhkan nasabah, lalu menjualnya kembali dengan tambahan margin keuntungan yang sudah disepakati di awal. Dengan begitu, transaksi ini tidak mengandung bunga (riba) yang dilarang dalam Islam. Semuanya terdengar rapi. Tapi, seperti kue cantik yang kita beli di etalase toko, kadang isinya tidak selalu sesuai dengan tampilan luarnya.
Ada satu sisi yang sering luput dari perhatian informasi yang tidak seimbang antara bank dan nasabah. Seperti naik taksi tanpa tahu jalur yang diambil sopir, nasabah hanya bisa percaya pada informasi dari bank tentang harga barang, kualitas, hingga proses pembelian. Tanpa kontrol penuh, kepercayaan itu menjadi fondasi rapuh. Kita berharap tidak dimanfaatkan, tapi tak punya cukup alat untuk memastikan.
Lebih rumit lagi, di lapangan, praktik murabahah kadang jauh dari ideal.
Banyak lembaga keuangan yang hanya formalitas saja melakukan akad pembelian. Alih-alih membeli barang terlebih dahulu, mereka menyerahkan uang kepada nasabah untuk mencari barang sendiri. Ini seperti Anda membayar agen perjalanan untuk menyiapkan liburan lengkap, tapi malah diberi uang saku dan disuruh mengatur segalanya sendiri.
Padahal, dalam prinsip syariah, akad murabahah bukan hanya soal administrasi. Ia membawa misi keadilan, keterbukaan, dan perlindungan bagi pihak yang lebih lemah. Jika ini diabaikan, maka murabahah hanya menjadi topeng islami dari transaksi biasa, tanpa ruh etik di dalamnya.
Maka wajar jika pertanyaan itu muncul: dalam praktik sebenarnya, siapa yang paling diuntungkan oleh murabahah? Apakah benar nasabah mendapat maslahat, atau justru lembaga keuangan yang memahami celah lebih banyak?
Keuangan syariah seharusnya menjadi jalan baru: menawarkan alternatif yang tidak hanya halal dalam bentuk, tetapi juga adil dalam substansi.
Tanpa transparansi dan keadilan, kita berisiko menciptakan sistem yang sekadar mengganti istilah tanpa memperbaiki nilai. Istilah “syariah” seharusnya mengandung semangat untuk membangun ekosistem yang amanah, bukan sekadar bebas riba.
Karena itu, kita butuh lebih dari sekadar regulasi teknis. Kita butuh pengawasan yang tajam, edukasi yang luas, dan keberanian untuk bertanya: apakah akad-akad yang kita jalankan benar-benar mencerminkan keadilan Islam, atau sekadar menjual label?.
Murabahah seharusnya menjadi jembatan menuju keuangan yang bermartabat. Bukan jebakan yang menguntungkan segelintir pihak, sementara sebagian besar lainnya hanya bisa berharap dan percaya.
Saatnya kita, publik, regulator, dan pelaku keuangan, memastikan bahwa nilai-nilai luhur itu kembali menjadi nafas utama setiap transaksi. Karena dalam Islam, transaksi bukan hanya soal laba, tapi soal Amanah.
Penulis: Anita Aprilia Jamil