BUDAYA. Palah yang berarti sebuah trah. Jika menjadikanmu lupa, merasa berderajat paling level atas, akhirnya ingin dipuja-puji. Sebuah biografi kecil dari Tino, sebuah Desa yang berada di Kecamatan Tarowang Kabupaten Jeneponto yang dulunya sebuah kerajaan kecil pada tahun 1439, tetiba dibawah pimpinan H. Kawang Karaeng Beseng Kerajaan Tino pindah ke Kerajaan Binamu pada Tahun 1933, keberadaan Tino dibawah kekuasaan Kerajaan Binamu diperkuat dengan adanya pemetaan Aubert sejak tahun 1693 menyebutkan bahwa jeneponto merupakan bagian dari wilayah toeratte dengan beberapa kampong lainnya seperti : Tino, Rumbia, Panging, Tolo, Sapanang, Parappa, Binamu, Tamanroya bulo bulo, Tana Toa, Bangkala Pattalasang dan Pangkajene, namun sebelumnya tepatnya di tahun 1254 Tino berada dibawah kekuasaan kerajaan bantaeng namun tutur yang kami dengar dari petua petua yang tersisa sampai saat ini Tino mempunyai kisah heroik yang sampai saat ini miris terpenggal oleh perkembangan zaman, sejak berdirinya Kerajaan Tino terdapat beberapa orang yang memimpin atau Raja yaitu :
1. Karaeng Tiknok (1439-1466) 27 tahun
2. Langkasa Karaeng Lompoa (1466-1491) 25 tahun
3. Bata Daeng Malondo Karaeng Tinroa Rikappara (1491-1528) 37 tahun
4. Mangga’(PLT. GALLARRANG/1530-1535) 5 tahun
5. Sumaele Daeng Malawa (1535-1572) 37 tahun
6. Makkawar (Plt). (1572-1593) 21 tahun
7. Karaeng Bulu (1593-1623) 30 tahun
8. I. Marawang Karaeng Barrang Tumappa’risika Bokona (Raja Bantaeng Ke-13, OLEH Drs. Nurdin MM dkk dalam bukunya sejarah dan budaya lokal dari Sulawesi sampai Bima) (1623-1661) 38 tahun
9. Karaeng Tinggia (1661-1699) 38 tahun
10. Karaeng Baso (1699-1740) 41 tahun
11. Karaeng Syamsu (1740-1778) 38 tahun
12. Karaeng Malayu (PLT/1778-1813) 35 tahun
13. Gengge Karaeng Kalauka (Seorang Tokoh Masyarakat Yang Dituakan/1813-1843) 30 tahun
14. Sanre Karaeng Palili (1843-1879) 36 tahun
15. Karaeng Kanji (1879-1901) 22 tahun
16. Karaeng Maluku (PLT, 1901-1933) 32 tahun
17. H. Kawang Karaeng Beseng (1933-1961) 28 tahun
18. H. Muhammad Amin Karaeng Daming (1961-1971) 10 tahun
Nyali seorang Bata Daeng Malondo’ menambatkan pesan bahwa “Mengalah bukan berarti kita kalah, tapi bagaimana infrastruktur kehidupan tetap berjalan dalam sebuah trah dan disaat itulah tetapko paentengi sirika“. Meski satu syarat menjadi rekayasa politik menghambatnya, karena dulu mengangkat seseorang karena memiliki kesaktian/keahlian khusus yang mumpuni untuk bisa menjadi pemimpin. Bata Daeng Malondo’ memilih mengalah.
Kami tidak harus gegabah menelan lalu euforia sebagai cucu dan cicitnya. Butuh kekuatan data yang lebih untuk sebuah identitas? Dalam hal trah, kami masih mencari benang merah. Dari sumber didapat tertanggal 31 Maret menemui seseorang bernama Karaeng Lo’mo’ salah satu penasehat Dewan Adat di Tino sampai saat ini.
Tak lama menelaah kehadiran kami. Lamat-lamat semua mengalir. Benang merah telah ada, tentang nama nama yang pernah memimpin TINO’ sebagai sebuah trah yang murni.
Terkait trah yang artinya keturunan berasal dari kata truh yang artinya hujan. Hujan selalu menetes ke bawah sehingga trah pun dimaksudkan sebagai garis keturunan yang dihitung dari atas ke bawah (Sairin, 1991: 3).
Tetesan, utusan, dan situs nilai manusia dengan keturunan dinamakan. Ditekankan dengan kuat sebagai tetesan darah murni sebuah perangai, dan kekuasaan diidentikkan (raja/karaeng).
Kalau terhitung istilah “pinangka/urutan dari atas bernama Bata Bou menghadirkan Bata Daeng Malondo yang bergelar “Karaeng Tinroa Rikappara” turun ke Sumaele Daeng Malawa’. Lalu beberapa fase turun ke kakek buyut saya bernama H. Kawang Karaeng Beseng, kemudian turun lagi ke kakek saya, H. Amin Karaeng Daming turun ke ayah/Kaeng’ saya Maki Karaeng Lewa. Lalu hadirlah kemudian saya M. Irfan Lewa, S.E., M.M. Karaeng Lagu sebagai generasi ke tiga dari H. Amin Karaeng Daming.
Kesemuanya bukan tanpa tujuan, bukan pula “ero‘ nikua“. Tapi ada nilai kebudayaan yang melekat dalam kedekatan dan hirarki kekeluargaan. Meski kadang ada juga tercerai-berai.
Berikutnya pencantuman silsilah sehingga dalam status masyarakat tercantum sebagai turunan raja, ya, hal ini hanya sebagai catatan pribadi dalam silsilah keluarga saja.
Setidaknya juga kudu hati-hati, karena kadang ada turunan trah yang berbudaya dan bertingkah laku tidak selaras dengan budaya yang diusung trah sebelumnya. Misalnya, trah sebelumnya dikenal sebagai orang yang Arif, Berani namun tetap tamadun, Budiman, baji ampe-ampena, sejatinya beradab dan berbudi pekerti luhur. namun ada turunan yang sangat bertolak belakang dari itu semua.
Hal ini sangat mungkin, apalagi mereka yang lebih dari trah kesekian, belum masuk ke puncak trah. Sehingga semua sudah tidak lagi mempunyai rasa yang sama atau tidak nyambung lagi dengan trah pertama.
Karaeng Tiknok’ kami tempatkan pertama, meski ada jauh lebih di atasnya bernama Bata Daeng Malondo’ dimana yang sebelumnya ada Karaeng Lompoa yang mempunyai ciri ciri atau fostur badan tinggi, besar, dan hitam. Sampai pada tiga atau berapa lagi pinangka’na ke atas. Tapi kami tidak harus terjebak sampai ingin merasa untuk pamer identitas. Lalu kapuji-pujiang apalagi kajili-jili erok nikua.
Terlebih sebuah nilai amanah dan penuh risalah yang kemudian memberi kami pelajaran cara bersikap, bertutur, dan segala perangai bentuk identitas kami harus jaga.
Saya secara pribadi sempat berfikir buat apa trah di bangun dan bertahan, jika kelak akan menjadi konflik di tingkatan anak dan cucu-cicit kita sebagai generasi yang kelak a’sakransa’ra mami, merasa trah kuat tapi lemah dalam adab. Itu juga kebablasan. Dan pada akhirnya jika tidak mengetahui minimal perangai leluhur dan sejarahnya, maka kelak generasi merasa kelimpungan, tersesat, lebih mengakui sejarah trah orang lain.
Fenomena trah, bertingkah seenaknya, bagai anak panah meluncur tak terkendali. Maka akan menjadi kebablasan mengakui diri keturunan, itu juga buat apa. Sementara sikapnya tidak sesuai defenisi trah itu sendiri.
Ketika seorang bertanya! Kamu trah ke berapa? Apa saya harus bangga? Sebab status sosiallah akan menentukan sanjung dan penghormatan meski kadang perlakuanmu tidak baik-baik saja.
Ada yang menghormati karena terpaksa, karena bermateri, pejabat. Atau ada nama di belakang nama? Tapi bagi saya tidak perlu semua itu. Apa guna memburu sematan kehormatan, jika sekadar nampang dan numpang di pelampung sejarah penuh catatan yang cacat oleh para pencatut.
Ada juga berkumpul dengan trah, tapi demi pamer saja. Hendak dikata, lalu merasa paling murni, mulia namun lupa semua sematan adalah sayatan yang mengoyak-ngoyak kedirian, kemandirian manusia sebagai mahluk apa adanya.
Sebagaimana laiknya manusia, terlahir telanjang tak sehelai, semua sama tertitah dan tertatih proses diri dan sisi kualiti seseorang, bukan semata sematan ada trah. Tetapi bagaimana seseorang mampu membawa diri. Tanpa embel-embel melekat pada dirinya.
Trah hanya ilusi yang akan menjebakmu di tengah peradaban yang penuh onak. Dan cara kita menyifatinya. Melekatnya sebuah trah akan menghujammu di setiap personanya, dalam interaksi sosial, pada setiap momen kehidupan, hingga pada saat tertentu kau tergusur oleh busur-busur adab yang kian bergeser.
Orang menyebutnya Kerajaan Kecil dalam hal ini “Tino” telah melewati sebuah episode yang terjal, dengan sebuah misteri mengincar di sebuah babad/cerita tentangnya yang melintasi imajinasi saya selama ini. Ada hal menarik, ada juga membuat saya merasakan sesuatu hendak membuncah tentang kisahnya semakin kami temukan dalam lembar-lembaran cerita dari sanak keluarga.
Trah bukan sekadar derajat dan syarat menjadi manusia yang punya martabat. Meminjam Level of Leadership yang dikemukakan oleh Maxwell, kita dapat bercermin tentang mengapa orang menghormati kita.
1. Jabatan. Orang lain mengikuti karena keharusan. Contohnya bisa dalam trah tadi. Hanya karena masuk dalam silsilah trah raja, maka orang akan mengikuti karena keharusan (dogma).Hubungan. Orang lain mengikuti karena ingin yang disebabkan hubungan yang hangat (baik hati, ramah, dll).
2. Priduktivitas-hasil. Orang lain mengikuti karena apa yang sudah Anda lakukan atau mereka melihat hasil dari apa yang Anda lakukan.
3. Reproduksi. Orang lain mengikuti karena apa yang telah Anda lakukan untuk mereka.
4. Puncak-Respek. Orang lain mengikuti karena jati diri Anda dan apa yang Anda wakili tentang kehidupan.
Pada level puncak, seseorang sudah tidak memerlukan trah. Bahkan berani meninggalkan atribut-atribut yang mendukung dirinya dihormati hanya karena keharusan (level 1). Mereka dihormati dan diikuti karena jati dirinya, bukan karena jabatan, sebutan, atribut ataupun silsilah apa pun.
Begitulah para leluhur kami memilih level puncaknya. Begitu kuat nan tegar. Tanpa harus merasa ragu dan malu melepaskan semua atribut tersemat kepadanya, kemudian beliau berpesan kepada ayah saya yang bernama Maki Karaeng Lewa yang diteruskan ke saya sebagai penerus Trah ke Tiga “a’lampako assikola nak manna pole karaengko punna tanre sikolanu tetapjako napararek ata tauwa.
Beliau selalu berpesan. Bahwa pengakuan dalam sisi trah tidak membuatnya tergugah dan mengubah prinsipnya. Tidak harus ada ritual khusus untuknya. Karena level dirinya telah dia selesaikan dengan segala resiko. Memijak air mata sejarahnya sendiri.
Tanpa trah, apakah hidupmu tertatih dan terpuruk? Sementara jatah hidup telah ditakar. Derajat manusia telah terkadar.
Selain trah ada ilmu pengetahuan lebih menjadikanmu bertahta pada kepemilikan ide, kreativitas, kualitas hidup mumpuni. Tanpa harus tepuk dada, tetiba kita jadi budak.
Tertukar takarnya harga diri, menuang anggur pesta di tengah sejarah keadaban leluhur yang babak belur, dan mabok bersama mereka sampai sempoyangan.
Trah sekadar identifikasi dan referensi sebuah nilai. Trah kedaulatan mutlak Mahatinggi-Nya Tuhan. Serta utusan-utusan-Nya membawa risalah menyelesaikan masalah dunia dan umat. Sementara trah manusia hanya menggunakan untuk sebuah identitas, yang kadang menjadi biang kerok dan biang masalah.
Apalah arti trah, jika kita lupa mengasah dan merasa lebih hina dalam sebuah tindakan, ucapan dan segala bentuk ampe-ampea ri lino surang parangta rupa tau.
Sekelebat cerita ini kami rangkum dalam sebuah auto biografi kecil yang merupakan sebuah pesan moral untuk kita renungi bersama bahwa sanya keberadaan trah tidak lebih sekedar uforia semata, akan tetapi lebih mengarah kepada sebuah implementasi dari sebuah elektabilitas melalui adab, akhlak dan budi pekerti luhur.
Penulis ;