POROSTENGAH.COM – Di sebuah rumah sederhana di Malaysia, suasana duka masih menyelimuti. Foto seorang gadis berwajah manis dengan senyum polos terpampang di ruang tamu. Dialah Zara Qhairina, siswi berusia 13 tahun yang kepergiannya secara tragis kini menjadi sorotan dunia.
Zara bukan hanya anak biasa. Ia dikenal ceria, suka membaca, dan sering bercita-cita menjadi dokter agar bisa menyembuhkan banyak orang. Namun, semua mimpi itu pupus di usia yang terlalu muda. Dunia terhenyak ketika kabar kematiannya beredar, diduga akibat tekanan bullying yang dialaminya di sekolah.
Di Balik Senyum Zara
Teman-temannya mengenal Zara sebagai gadis yang ramah dan tak suka membalas meski sering menjadi bahan olok-olokan. Namun, cerita lain muncul tentang bagaimana ia sering diperlakukan tidak adil, diasingkan, bahkan dilecehkan secara verbal. Bullying itu bukan hanya melukai fisiknya, tapi juga menggerogoti jiwanya.
“Senyum anak saya seolah menyimpan sesuatu yang tak pernah ia katakan,” ujar sang ibu dengan suara bergetar. “Kini saya sadar, mungkin dia terlalu kuat menahan sakitnya sendirian.”
Kematian yang Mengguncang Dunia
Kematian Zara dinilai tak wajar. Publik mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang bertanggung jawab. Tak butuh waktu lama, kisah Zara menyebar ke seluruh dunia. Tagar #JusticeForZaraQhairina menduduki trending di media sosial.
Dari Malaysia, Indonesia, hingga Eropa, warganet menyuarakan solidaritas. Mereka menulis doa, membagikan potret Zara, hingga menyerukan penghentian budaya bullying yang telah merenggut banyak nyawa anak muda sebelumnya.
“Zara bisa jadi anak siapa saja. Bisa jadi anak kita, adik kita, atau sahabat kita. Ini bukan hanya tragedi keluarga Zara, ini tragedi kemanusiaan,” tulis seorang aktivis di Twitter.
Bullying, Luka yang Tak Terlihat
Kasus Zara kembali membuka luka lama: betapa berbahayanya bullying yang kerap dianggap remeh. Laporan UNICEF menunjukkan ribuan anak di Asia Tenggara mengalami perundungan di sekolah setiap tahunnya. Sebagian bertahan, sebagian lain memilih mengakhiri hidupnya.
Aktivis perlindungan anak menegaskan bahwa bullying bukan hanya “kenakalan remaja”, melainkan bentuk kekerasan serius yang bisa merenggut nyawa. Tragedi Zara menjadi pengingat pahit bahwa masih banyak sekolah yang gagal menciptakan lingkungan aman bagi siswanya.
Suara Zara yang Tak Akan Pernah Padam
Meski Zara telah pergi, kisahnya kini hidup dalam suara jutaan orang. Dari unggahan media sosial hingga aksi solidaritas di berbagai negara, namanya menjelma simbol perlawanan terhadap bullying.
Bagi keluarganya, keadilan adalah satu-satunya yang bisa sedikit meredakan luka. “Kami hanya ingin kebenaran. Kami hanya ingin keadilan untuk Zara,” tegas sang ayah.
Kini, seluruh dunia menunggu langkah tegas pemerintah Malaysia: siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah sistem pendidikan akan berubah agar tragedi seperti ini tak terulang?
Zara mungkin tak lagi ada secara fisik, tapi senyum polosnya kini abadi sebagai pengingat bahwa setiap anak berhak hidup, belajar, dan tumbuh tanpa rasa takut.