Opini  

Hijrah Angka 2.0: Ketika Laba Bertemu Iman di Era Digital

 

Porostengah.com – Bayangkan jika angka-angka dalam laporan keuangan bisa bicara. Mungkin mereka akan bertanya: “Apakah aku hanya sekadar perhitungan laba, atau bagian dari keberkahan?” Di tengah gempuran artificial intelligence, algoritma yang memprediksi perilaku konsumen, dan pasar modal yang berlari tanpa menoleh, kita sering lupa bahwa angka sejatinya bukan benda mati. Ia menyimpan cerita: tentang kejujuran, tentang amanah, dan tentang masa depan yang ingin kita wariskan.
“Hijrah Angka” bukan hanya slogan spiritual; ia adalah panggilan etis untuk profesi akuntansi dan keuangan agar menyeimbangkan kecanggihan dengan kemaslahatan. Versi 2.0-nya adalah upgrade akal dan akhlak—mengajak kita mengaji ulang makna audit, laporan keuangan, bahkan profit itu sendiri.

iklan berbayar Pengumuman KPU Selayar Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Pilkada 2024 Dirgahayu 27 Tahun Masmindo Dwi Area Pengumuman Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Palopo Tahun 2024 Pasca Putusan MK

Karena dalam dunia yang semakin tanpa batas, hanya nilai yang bisa jadi pagar.
Ketika Teknologi Mendobrak, Syariah Mengarahkan
Kita hidup di zaman ketika kontrak bisa otomatis (smart contract), aset bisa maya (NFT), dan uang bisa tanpa wujud (cryptocurrency). Tapi justru karena semuanya serba cepat dan maya, kita butuh landasan yang kokoh dan nyata. Syariah bukan penghalang inovasi, tapi kompas moral yang memastikan digitalisasi tidak kehilangan ruh.
Di balik kilau e-commerce, jangan lupakan isu gharar—ketidakpastian akad, barang yang tidak jelas, atau penalti tersembunyi dalam cicilan. Di balik dashboard startup yang penuh growth rate, jangan tutupi ketidakadilan pada driver, kurir, dan konten kreator yang tidak dilindungi.

Di sinilah akuntansi syariah bukan sekadar menghitung, tapi menimbang dengan nurani.
Antara Big Data dan Amanah
Semua bicara data. Tapi siapa yang memastikan data itu tidak disalahgunakan? Siapa yang mengaudit algoritma? Akuntansi syariah menantang kita untuk tidak hanya mencatat apa yang terjadi, tapi menanyakan apa yang seharusnya terjadi. Adl (keadilan) dan amanah (tanggung jawab) menjadi fondasi, bahkan ketika yang dinilai adalah pola belanja, preferensi gender, atau akses terhadap kredit mikro.

Mengapa tidak ada “auditor etika algoritma”? Mengapa tidak ada “laba sosial” dalam laporan laba rugi? Jika laporan keuangan selama ini hanya melihat masa lalu, maka laporan berbasis nilai syariah menatap masa depan.

Maqasid al-Shariah Bertemu ESG
Banyak yang menganggap ESG (Environmental, Social, Governance) adalah jargon asing. Tapi siapa sangka, maqasid al-shariah sudah berbicara tentang pelestarian kehidupan (hifz al-nafs), perlindungan harta (hifz al-mal), dan menjaga generasi (hifz al-nasl) sejak ratusan tahun lalu. ESG dan syariah bukan dua kutub, melainkan dua sungai yang bisa bertemu di muara keberlanjutan.

Bayangkan jika perusahaan mencantumkan dalam laporan tahunan mereka: bukan hanya pendapatan dan beban, tapi juga berapa liter air yang dihemat, berapa keluarga yang diangkat martabatnya, berapa inovasi yang menyelamatkan bumi. Inilah saatnya menjadikan keberkahan sebagai Key Performance Indicator.

Ekonomi Kreatif, Ekonomi Rahmah
Indonesia adalah rumah bagi para kreator, pelaku UMKM, musisi, desainer, dan penulis. Tapi berapa banyak dari mereka yang dicurangi, tidak dibayar, atau karyanya dibajak? Akuntansi syariah masuk bukan sebagai pengatur, tapi pelindung. Ia memastikan bahwa setiap bentuk kreativitas dilindungi haknya, dan setiap kerja dihitung sebagai ibadah.

Dalam dunia kerja yang semakin dinamis, generasi muda menolak menjadi budak spreadsheet. Mereka mencari pekerjaan yang selaras dengan hati dan keyakinan. Maka, audit internal ke depan bukan hanya soal mengecek aset dan utang, tapi juga apakah perusahaan ini memanusiakan manusianya?
Hisab Digital: Antara Dunia dan Akhirat
“Hisab” berarti perhitungan. Tapi dalam Islam, hisab tidak berhenti di neraca, ia berlanjut di pengadilan akhirat. Maka, akuntan syariah sejati bukan hanya profesional, tapi juga penjaga nilai. Ia tahu bahwa setiap angka yang ditulis, setiap laporan yang disusun, adalah kesaksian. Dan di zaman yang serba transparan ini, rekam jejak moral justru lebih penting dari catatan laba.

Opini : Lisa Aulia Putri Ramadhani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!