Porostengah.com – Selayar. Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dalam perkembangannya, kerajaan yang berdiri sekitar Abad ke-13 ini memiliki hubungan dengan Majapahit, Portugis dan mulai melemah di masa Belanda. Kayu cendana merupakan komoditas yang memikat berbagai bangsa untuk mengunjungi wilayah kerajaan ini.
Diceritakan dalam berbagai versi bahwa, cikal moyang dari pendiri kerajaan ini bukan penduduk lokal murni, melainkan percampuran dari berbagai pendatang seperti dari Jawa dan Sulawesi. Salah satu versi bahkan menyebut orang Selayar.
FC Heynen dalam “Het Rijk Larantoeka of Het Eiland Flores” (1876) menulis bahwa, pada zaman dahulu, ketika masyarakat Kroe, Sikka dan Manggarai sudah menetap di Flores, mendaratlah dua kakak beradik di sisi timur pulau, tepatnya di Gunung Ilimandiri. Diyakini bahwa mereka berasal dari Kepulauan Saleijer (Selayar), tetapi penyebab kemunculan mereka sama sekali tidak diketahui.
Yang laki-laki bernama Liahoera (Liahura) dan saudara perempuannya bernama Watewelle. Mereka sepakat untuk tidak tinggal bersama. Liahura pindah ke sisi Ilimandiri, sementara Watewelle memilih berada di pantai Rue Flores.
Liahura segera memiliki seorang istri di Leboko dan memiliki sepuluh orang anak. Empat anaknya laki-laki. Mereka bernama Kawaloe, Mado, Bampoa dan Kawakka. Walaupun bukan yang tertua, Bampolah yang memperoleh gelar raja di antara saudara-saudaranya. Ia memerintah lebih dari delapan negories (kampung). Empat di antaranya adalah pemukiman orang asing dan menyebut dirinya dengan gelar Raja Muda Kaputa.
Akan halnya Watewelle, pada mulanya tinggal sendiri sebagai petapa. Namun nasib mempertemukan dia dengan seorang pangeran dari Liverei, Wiwekoe, Timor bernama Pategolo. Pangeran ini sedang dalam pengembaraan demi menghindari pertikaian dengan saudara-saudaranya. Wetelelle dan Pategolo bertemu di sebuah tempat bernama Woto.
Mereka kemudian menikah dan dikaruniai lima orang putra. Putera tertua mereka lalu mendirikan Kerajaan Larantuka, yang sekaligus merupakan moyang dari Don Gasper (raja Larantuka ketika buku tersebut ditulis).
Adapun Gunung Ilimandiri, gunung api yang sudah tidak aktif lagi sebagai tempat mendaratnya “moyang” raja Larantuka ini, kemudian dikeramatkan oleh penduduk setempat. Akhirnya muncul kepercayaan bahwa mereka adalah “anaq Ilimandiri” (anak dari Gunung Ilimandiri).
Agaknya Negeri Larantuka juga memiliki semacam kepercayaan “Tomanurung”. Bila Orang Luwu menjadi tomanurung di Selayar, maka orang Selayar menjadi Tomanurung di Larantuka.
Terlepas dari berbagai versi, Larantuka memang menarik para pedagang Bugis-Makassar pada Abad ke-16 untuk datang dan menetap.
Lebih dari itu, persamaan budaya dan warna kepercayaan hingga pertalian darah entah dimulai dari “pendatang misterius” atau melalui hubungan dagang – bisa menjadi pengingat bahwa sejak dahulu kala penghuni Nusantara tidak mengalami hambatan untuk menjalin hubungan satu sama lain.
Kita adalah satu. Torang samua basodara! Itu sudah…
(Amran Triplea/Redaksi)