Sultan Hamid Al-Qadri II, Penguasa Kesultanan Pontianak

Porostengah.com. Penguasa Kesultanan Pontianak, bagaikan pisau bermata dua dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ia digelari pahlawan nasional, di sisi lain ia dicap pengkhianat. Kontroversi ini berulang kali mengiringi upaya penganugerahan gelar pahlawan nasionalnya.

Tuduhan Pengkhianatan dan Kontroversi Gelar Pahlawan:

AM Hendropriyono, mantan perwira militer Orde Baru, menuding Sultan Hamid sebagai pengkhianat negara. Alasannya, keterlibatan Sultan Hamid dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil pimpinan Raymond Westerling dan dugaan sponsornya, Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterfeld, suami Ratu Juliana. Hukuman 10 tahun penjara menjadi bukti tuduhan ini.

Selain itu, peran Sultan Hamid sebagai ketua delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), persatuan negara-negara boneka Belanda, semakin memperkuat tudingan tersebut. Sejarawan Anhar Gonggong menambahkan bahwa sikap Sultan Hamid tidak patriotik karena pangkat tertinggi di KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) yang ia raih, yaitu generaal-majoor (mayor jenderal), dengan jabatan prestisius: Adjudant in Buitengewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden (Ajudan Luar Biasa Sri Ratu).

Melihat Peran Sultan Hamid Secara Proporsional:

Namun, penting untuk meninjau kembali peran Sultan Hamid secara proporsional. Sebagai ketua delegasi BFO di Konferensi Meja Bundar (KMB), ia justru membantu Indonesia “mengeroyok” delegasi Belanda. Kontribusi BFO dalam perjanjian KMB menghasilkan pengakuan de jure dan de facto bagi Indonesia. Tanpa perjanjian ini, kemerdekaan Indonesia mungkin tak tercapai.

BFO, sebagai lembaga permusyawaratan sultan dan raja, juga berperan dalam memerdekakan Indonesia. Saat proklamasi 1945, wilayah Indonesia hanya mencakup Jawa dan Sumatra. Pada 1948, BFO dengan Sultan Hamid II sebagai ketuanya, memfasilitasi bergabungnya wilayah lain ke Indonesia. Peran Sultan Hamid dalam penyatuan ini tak dapat dipungkiri.

Daerah Istimewa Kalimantan Barat di bawah kepemimpinan Sultan Hamid, merupakan wilayah yang tidak diduduki Belanda dan bergabung ke Republik Indonesia Serikat (RIS) sesuai Konstitusi RIS 1949. Hal ini menegaskan peran penting Sultan Hamid dalam perjuangan diplomasi kemerdekaan.

Pertemuan Sultan Hamid dengan Soekarno di Muntok semakin memperkuat jalur diplomasi kemerdekaan. Tanpa tandatangan Sultan Hamid di KMB, status negara RIS mungkin tidak sah. Perjanjian KMB menjadi jalan tengah untuk memperoleh pengakuan internasional.

Menyoal jabatan Sultan Hamid sebagai ajudan Ratu Wilhelmina, perlu dilihat konteksnya. Situasi ini serupa dengan Soekarno yang menerima penghargaan dari Kaisar Jepang. Banyak tokoh bangsa lain yang bekerja sama dengan penjajah, seperti Abdul Haris Nasution dan Elang Suryadi Suryadharma.

Pada 1946, saat Sultan Hamid menerima jabatan dari Ratu Wilhelmina, Indonesia belum memiliki bentuk negara dan teritori seperti sekarang. Banyak kesultanan berdaulat yang memiliki hubungan diplomatik dengan luar negeri, termasuk Belanda.

Terkait keterlibatannya dalam pemberontakan Westerling yang berujung 10 tahun penjara, Sultan Hamid didakwa dengan empat tuduhan terkait niat jahat (Mens Rea) untuk menyerang Dewan Menteri RIS. Dia dihukum karena niat, bukan tindakan.

Setelah menyelesaikan hukuman, Sultan Hamid kembali ditangkap bersama Mohammad Roem dan Sutan Sjahrir tanpa proses persidangan. Kontribusinya dalam penyatuan Indonesia tak terhapuskan begitu saja.

Kesimpulan:

Menilai Sultan Hamid Al-Qadri II adalah perkara kompleks. Di balik kontroversi dan tuduhan pengkhianatan, terdapat kontribusi nyata dalam perjuangan kemerdekaan dan penyatuan Indonesia. Penting untuk mempertimbangkan semua aspek secara proporsional dan menyeluruh sebelum mengambil kesimpulan.

(Sumber : FB Kisah Ulama dan Sejarah Nusantara)

Bawaslu Selayar Palopo Pilwalkot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!