Konflik Gowa-VOC Memanas, Perairan Selayar Jadi Petaka Bagi Kapal Belanda, ini Penjelasan Singkatnya

Repro Ilustrasi kapal tenggelam (Jivi Javora/flickr.com)

Porostengah.com – Selayar. Puluhan tahun sebelum meletus Perang Makassar yang dipimpin Sultan Hasanuddin, hubungan antara Kerajaan Gowa dan VOC sudah memanas. Azas perdagangan bebas yang dianut Sultan Alauddin (1593-1639) bertentangan dengan ambisi VOC memonopoli perdagangan rempah di timur Nusantara. Rentetan insiden pun terjadi di antara keduanya dengan melibatkan wilayah-wilayah kekuasaan Gowa, termasuk Selayar.

Repro Ilustrasi kapal tenggelam (Jivi Javora/flickr.com)

Bermula pada tahun 1615, dua pembesar Gowa ditawan oleh Belanda di Kapal Enkhuyzen yang berlabuh di Somba opu. Insiden ini mengakibatkan korban di kedua belah pihak. Tawanan dilayarkan ke Banten dan dikembalikan setahun kemudian dengan menumpang Kapal De Eendracht. Namun lagi-lagi awak kapal Belanda menunjukkan kecongkakannya yang mengakibatkan semua awak dibunuh oleh orang Makassar.

Tidak berhenti di situ. Pada bulan Desember 1629 sebuah kapal Belanda (Suratte) kandas di perairan Selayar. Penduduk Selayar lalu menyerahkan anak buah kapal sebanyak 30 orang kepada Raja Gowa. Atas permintaan Portugis, sekutu Gowa saat itu, tawanan ini ditukar dengan 9 orang Portugis yang ditawan oleh Belanda di Batavia.

Pada tahun 1663, nasib sial menimpa awak kapal VOC de Walvis. Setelah terkatung-katung di laut, seratus orang Belanda mendarat di Selayar, yang digambarkan sebagai pulau yang terdiri dari batu bercampur pasir. Para awak dijadikan tawanan dan baru dibebaskan setelah ditebus.

Selama mereka tinggal juga menjadi jelas bagi Belanda bahwa makanan sedang langka di Selayar, karena penguasa Bontobangung tak mampu memberi makan seluruh kelompok dan empat puluh orang harus diberi makan di desa lain.

Yang paling sial adalah awak kapal VOC Hilversum yang karam di Selayar pada tahun 1665. Senasib dengan awak De Eendracht di Somba Opu empat puluh sembilan tahun sebelumnya, semua awak menemui ajal di tangan penduduk setempat.

Artikel ini mengacu pada buku “Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan” (terbit 2017) karya A. Zainal Abidin Farid, “Makassar Abad XIX” ( terbit 2002) karya Edward L. Poelinggomang, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” ( terbit 2002) karya Merle Calvin Ricfels, “Dependence on Green Gold” ( terbit 1999) karya (Christiaan Heersink) dan “Sultan Hasanuddin Menentang VOC (terbit 1985) karya Sagimun Mulus Dumadi

 

 

Penulis. : Amran

Editor.   : Nur Kamar

Bawaslu Selayar Palopo Pilwalkot

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!